Halaman Muka
|
Tentang Kitorang
|
Perangkat Hukum
|
Sumbangan
|
Berita-berita Terkini
|
Laporan Khusus
|
Jaringan
|
Peta Situs
|
|
Memberi Perhatian Terhadap Persoalan HIV/AIDS
Jayapura, 20 Agustus 2010. "Gereja Katolik mempunyai perhatian yang amat tinggi terhadap persoalan kemanusiaan di Tanah Papua", demikian ungkap Ketua KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Provinsi Papua, Konstan Karma, dalam kesempatan perayaan ulang tahun Rumah Surya Kasih yang pertama, 19 Agustus 2010, di Waena-Jayapura. "Tanpa mengabaikan yang lain, Gereja Katolik mempunyai kesan dan kekhasan yang sangat kuat". Gereja Katolik telah memberi perhatian untuk menjawab persoalan HIV/AIDS di Papua dengan memberi pelayanan yang luar biasa, bukan hanya dalam bentuk kata-kata namun juga tenaga, pikiran dan tentu bangunan rumah yang bisa ditempati para ODHA.
Rumah yang diperuntukkan bagi para ODHA (Orang Dengan HIV Aids) ini dirintis oleh Br. Agus Adil, ofm. Bermula dari perjumpaannya dengan Ibu Yuli, seorang ODHA tahun 2004, muncul ide membangun sebuah rumah yang khusus memperhatikan para ODHA. 11 Maret 2007 hospis dibangun setelah mendapat persetujuan dari P. Ferdinan Sahadun, ofm, Kustos Kustodi Fransiskan Duta Damai saat itu, serta dukungan Dr.Gunawan dari RS Dian Harapan. Namun dalam perkembangannya semakin banyak pasien ODHA yang dirawat. Maka dibangunlah sebuah rumah yang saat ini telah ditempati yang diresmikan pada 19 Agustus 2009. Tanggal 19 Agustus lantas ditetapkan sebagai hari jadinya meskipun pelayanan kepada ODHA telah dimulai dua tahun sebelumnya sejak tahun 2007.
Menurut Br Agus, pelayanan di Rumah Surya Kasih diberikan kepada para ODHA yang berasal dari berbagai latar belakang baik suku, agama maupun pendidikan. Para ODHA biasanya diterima setelah direkomendasikan oleh RS Dian Harapan. Pelayanan kepada ODHA tidak hanya dilakukan di Rumah Surya Kasih (Hospis), namun juga di rumah-rumah mereka. Visi dari pelayanan di Hospis adalah "Kamu semua adalah saudara", dengan misi; (1) menerima ODHA sebagai sesama saudara yang semartabat dengan Allah, (2) melayani, memperhatikan serta merawat ODHA dengan penuh kasih, dan (3) mengembalikan rasa harga diri para ODHA yang telah hilang dengan menjadikan mereka sebagai teman, sahabat dalam berbagi suka dan duka. Pasien ODHA saat ini berjumlah 8 orang. 18 orang yang pernah dirawat telah meninggal dunia. 19 orang telah pulih dan telah kembali ke keluarganya. Untuk membantu pelayanan di hospis, saat ini ada tiga orang yang bekerja yakni Br. Agus Adil, Suster Yuli dan Suster Sandra. Tentu selain mereka, para saudara muda fransiskan juga terlibat untuk membantu.
Pesta ulang tahun ini berbeda dari pesta-pesta biasanya. Pesta diawali dengan perayaan doa dari umat Hindu yang dipimpin oleh Pandita I.G.M. Sunatra. Kemudian dilanjutkan dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh P.Gabriel Ngga, ofm selaku kustos Kustodi Fransiskan Duta Damai Papua. Beliau berpesan agar rumah ini sungguh menjadi rumah Surya Kasih bagi para ODHA. Diharapkan, "Surya" bisa bersinar bagi semua orang dan "Kasih" yang merupakan Allah sendiri bisa dirasakan dalam diri setiap orang. Kita semua perlu berperan untuk menjadikan terang rumah Surya Kasih ini semakin benderang. Wajah Mama Marta, salah seorang ODHA, amat berseri-seri dalam pesta ini. "Saya sangat gembira banyak orang yang memperhatikan kami," katanya. Hadir pada kesempatan itu para Wanita Katolik, Wanita Islam, Wanita Kristen, Wanita Hindu, para biarawan-biarawati, para relawan serta kelompok ADCC (Aids and Drugs Community Care) dari SMA YPPK Teruna Bakti. Kelompok ADCC hadir untuk memeriahkan ultah Surya Kasih dengan pembacaan puisi dan lagu yang diiringi gesekan biola adik Leony Sutanto.
Akhirnya semoga pesta ulang tahun yang meriah ini membuat pelayanan yang diberikan oleh Rumah Surya Kasih semakin dirasakan oleh para ODHA. Juga diharapkan ke depan semakin banyak orang mau peduli memberikan perhatian kepada ODHA.
|
|
Pemanfaatan Teknologi Informasi Untuk Advokasi
Jayapura, 14 Agustus 2010. Sejak kamis (12/08) sampai Jumat (13/08), Greenpeace bekerja sama dengan Papua Forest Watch dan SKPKC Fransiskan Papua menyelenggarakan pelatihan informasi teknologi di Kantor Telkom, Kayu Batu, Jayapura. Pelatih untuk kegiatan ini dari Greenpeace Asia Tenggara yaitu Bobby Soriano dan Francis De La Cruz. Sementara peserta pelatihan sebanyak 15 orang dari berbagai lembaga di Papua seperti Yayasan Triton (Sorong), Jasoil (Manokwari), FOKER, YALI, PPMA, PFW, media JUBI dan SKP KC OFM Papua.
Bobby mengawali pelatihan dengan mengemukakan beberapa hal pokok yang menjadi petunjuk untuk kelancaran dan keefektifan kegiatan ini. Hal penting yang ditekankankan adalah pentingnya bertanya. Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Selanjutnya ia membuat pertanyaan kepada peserta tentang apa yang diharapkan peserta dalam dua hari pelatihan ini. Akhirnya yang diharapkan peserta adalah pelatihan website, skype, twitter, facebook, flicker, dan database security. Media informasi seperti website, skype, dll, dapat dimanfaatkan untuk berkampanye secara lebih efektif. Kita bisa mengubah informasi sederhana menjadi aksi. Kita dapat memasukkan rekaman video, gambar atau berita ke internet agar menjadi bahan perhatian orang lain baik di dalam negeri maupun luar negeri. Akhirnya orang lain akan memberikan perhatian terhadap peristiwa yang kita angkat. Inilah target yang mau dicapai yaitu meningkatkan dukungan terhadap tindakan kita. Namun supaya orang lain bisa memberikan perhatian terhadap kerja-kerja kita maka perlu kita mengemas bahan yang mau ditampilkan baik melalui blog maupun media lain. Isi dari bahan yang ingin ditampilkan hendaknya singkat, padat dan jelas.
Proses Pelatihan
Hari pertama yang dipelajari adalah membuat blog lewat wordpress. Media ini selain lebih mudah dipahami juga tidak berbayar. Jadi kita memanfaatkan jasa yang sudah tersedia demi kepentingan advokasi kita. Selain gratis, membuat blog lebih mudah daripada website. Hal ini dapat terlihat dari lancarnya para peserta dalam membuat blognya masing-masing. catatan menarik di hari pertama adalah dua peserta yang tidak memiliki alamat email sehingga jalannya proses menjadi agak lamban karena perlu menunggu peserta lain membuat alamat email baru sebagai syarat utama untuk pembuatan blog. Pada hari kedua, kami mempelajari penggunaan Skype dan Flickr. Pemanfaatan kedua media tersebut tidak terlalu sulit karena semua peserta telah mempunyai alamat email. Skype membantu kita untuk berkomunikasi langsung (seperti berbicara lewat telpon), bertatapan muka dengan orang lain di tempat yang berbeda dan chatting. Sementara flikcr dapat menjadi media advokasi dengan cara menyediakan gambar atau video. Masalah di hari kedua adalah jaringan internet yang seringkali putus. Berkaitan dengan pemanfaatan media-media ini, pelatih memberikan beberapa tips, yaitu; pastikan selalu update blog yang telah dibuat supaya mudah ditemukan oleh orang lain saat mencari informasi. hal yang ditulis dan ditampilkan dalam blog merupakan suatu fakta dengan informasi yang akurat. Jika merupakan suatu opini, tulislah pada bagian akhir bahwa ini adalah suatu opini. Jika ada berita, pasti ada komentar dari orang lain. Pastikan untuk memberikan komentar balik (feedback) Jika hanya mempunyai sedikit waktu sebaiknya jangan buat blog pribadi tetapi buat blog bersama.
Tindak Lanjut Seluruh training berlangsung selama 2 hari karena keterbatasan waktu dari pelatih yang harus kembali ke Jakarta pada hari ketiga. Pada akhir pelatihan dilakukan evaluasi dan selanjutnya menentukan rencana tindak lanjut yang akan dapat dibuat sebagai sumbangan bagi advokasi dan kampanye di Papua. Dalam evaluasi beberapa peserta mengutarakan keluhan dan harapan. Keluhan peserta adalah tidak semua bahan yang diharapkan peserta bisa dibahas atau dilatihkan karena waktu yang tersedia untuk pelatihan ini sangat terbatas. Harapan peserta adalah supaya ke depan kegiatan ini dapat ditingkatkan dan ditindaklanjuti, artinya direncanakan lagi pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pemanfaatan tehnologi informasi. Tindak lanjut dari kegiatan ini adalah disepakati lokasi-lokasi tertentu sebagai penyumbang data antara lain dari Serui, Sorong, Biak dan Jayapura. Khusus wilayah Jayapura karena banyak peserta maka dipercayakan dua orang yaitu Pak Rafael (Fokker LSM) dan Br. Edy Rosariyanto dari SKP KC sebagai sumber data atau informasi. Teman-teman dari Jayapura silahkan menghubungi mereka berdua bila ada bahan yang mau ditampilkan dalam media internet.
|
|
Program MIFEE Merampas Hak Hidup Masyarakat.
Jayapura, 11 Agustus 2010. Pemerintah pusat dan investor masih cenderung melihat tanah Papua ini tidak bertuan. Mereka hanya mempeta-petakan sumber daya alam dan tanah sementara manusianya tidak dihiraukan. Sejak konggres nasional Papua ke II, agenda Dewan Adat Papua adalah menyelamatan manusia Papua dan alam lingkungan Papua termasuk tambang, hutan, laut, sungai, untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat adat Papua. Ada upaya konsolidasi dengan semua organ-organ milik orang Papua. Untuk menjalankan agenda ini maka dibentuklah organisasi yang bersifat rekayasa sosial, di luar struktur asli kepemimpinan adat masing-masing suku. Ada 7 wilayah adat di Papua yaitu wilayah 1, Mamta/Tabi meliputi Mamberamo sampai Tami; wilayah 2, Saereri, Biak Numfor, Serui, Yapen, Waropen, Nabire pantai; wilayah 3, Domberai meliputi Manokwari sampai Raja Ampat; wilayah 4, Bomberai meliputi Fak-fak, Kaimana, Timika; wilayah 5 Anim Ha, meliputi Merauke, Boven Digul, Mappi, Asmat; wilayah 6 Lapago, meliputi Jayawijaya yang dulunya disebut sebagai Jayawijaya, dan yang terakhir wilayah 7, Meepago, meliputi daerah Wissel Meren Paniai dan sekitarnya. Dalam filosofi masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang artinya melahirkan, memberikan kehidupan, menyusui, membesarkan, bahkan ketika sampai mati akan kembali ke tanah juga. Dalam perspektif ekonomi, tanah adalah sumber ekonomi terpenting dan utama. Maka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang benar seharusnya adalah berbasis kerakyatan dan harus ada perjanjian dengan pemilik tanah adat. Program MIFEE menujukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak menghargai hak-hak masyarakat adat dan juga konvensi-konvensi internasional.
Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut, mengungkapkan hal itu dalam kegiatan diskusi publik dengan judul: _Investasi di Tanah Papua, khususnya MIFEE: Petaka atau Berkat bagi Masyarakat Adat Papua_ yang diselenggarakan oleh Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) dan KKRS STFT Fajar Timur dan didukung oleh Mirewit Study Center dan SKP-KC Fransiskan Papua.
Pimpinan SKP-KC Fransiskan Papua, Br. Rudolf Kambayong, mengajak pemerintah dan investor untuk memahami posisi masyarakat asli dan hak-hak hidup mereka. Masyarakat asli perlu didengar pendapatnya. Mereka adalah pelaku pembangunan dan bukan korban dari suatu rencana pemerintah.
Staf ahli gubernur mengusulkan perlunya memikirkan cara menekan dampak negatif serendah-rendahnya dari proyek MIFEE ini. Untuk itu jalan keluar yang ditawarkannya adalah pemanfaatan lahan-lahan transmigrasi yang sudah ada seluas 2,1 jt ha. Fakta sekarang menunjukkan bahwa anak-anak para transmigran banyak yang sudah tidak mau menjadi petani lagi. Mereka memilih untuk tinggal di kota dan menjadi pegawai negeri atau swasta. Maka akan ada sekitar 50% dari lahan pertanian transmigrasi yang statusnya menjadi lahan tidur dan jika dihitung luasannya sekitar 750 ribu hektar sampai 1 juta hektar, sesuai dengan kebutuhan MIFEE. Dengan demikian tidak perlu menebang hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi MIFEE. Ditambahkannya, konsep yang akan diterapkan di MIFEE meniru konsep teknologi pangan yang diterapkan di Brasil. Brasil telah mengalami kemandirian pangan dan tidak mengimpor pangan lagi. Meskipun demikian proyek itu telah mengorbankan lahan hutan yang sangat luas. Lebih lanjut dikatakan jika pemerintah menggunakan lahan transmigrasi maka tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar 100 trilyun rupiah untuk pembangunan infrastruktur karena kondisi infrastruktur di kawasan-kawasan transmigrasi adalah yang paling baik dibandingkan di kawasan lainnya.
Salah seorang peserta diskusi, Harry M, mengusulkan supaya dilakukan analisa bidang pertahanan dan keamanan menyangkut proyek MIFEE. Seperti diketahui bersama, Merauke memiliki jumlah aparat keamanan yang sangat tinggi, dapat dikatakan mungkin setengah dari jumlah penduduk di Merauke adalah aparat TNI dan Polisi. Papua punya pengalaman buruk bahwa dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi di Papua menggunakan kekuatan militer untuk memproteksi wilayah perusahaannya. Maka masyarakat setempat akan tertekan dan ketakutan dengan situasi tersebut. Besar kemungkinan akan terjadi pelanggaran HAM di kawasan ini, sebab sebelumnya saja sudah terjadi pelanggaran HAM yang cukup tinggi akibat kehadiran aparat keamanan di wilayah ini. Masyarakat perlu tahu siapa yang akan mengamankan MIFEE, apakah tenaga keamanan lokal ataukah adalah institusi khusus yang akan dipakai. Hal ini penting sehingga ke depannya jika terjadi konflik maka dapat diketahui secara jelas siapa pelaku dan bagaimana menyelesaikan konflik tersebut.
Diskusi yang diselenggarakan oleh SORPATOM yang sebagian besar beranggotakan mahasiswa dan pemuda asal Papua Selatan bertujuan untuk saling tukar pendapat demi mencari jalan keluar dari persoalan yang muncul dengan hadirnya program MIFEE di Merauke. Semoga upaya SORPATOM dan dukungan kita semua dapat menghantar orang asli Papua mendapatkan kesejahteraannya.
|
Pertambangan Degewo-Paniai Memberikan Dampak Buruk Bagi Masyarakat dan Lingkungan. Seminar SKP KC Fransiskan Papua.
Jayapura, 26 Januari 2010. Divisi Ekologi Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua melaksanakan Seminar hasil Penelitian Pertambangan Degewo dengan judul, Dampak Hadirnya Pertambangan Bagi Masyarakat Di Baya Biru Degewo/Kemabu, Kabupaten Paniai . Hadir pada seminar penelitian 22 orang mewakili: Garda Papua, ALDP, STFT, USTJ, AISWM, AMPTPI, SPP, Tabloid JUBI, PBI, WWF dan SKP KC. Seminar dibuka oleh Direktur SKP KC Fransiskan Papua, Br.Rudolf Kambayong, ofm. Dalam sambutannya Br.Rudolf, ofm mengatakan pertambangan emas di Baya Biru hadir telah terdengar sejak 2002 bahwa masyarakat mengeluh karena hak mereka diganggu termasuk lingkungan rusak. Hari ini kita akan mendengar hal yang sama dan mungkin situasi lebih buruk lagi. Situasi tidak akan berubah jika ini semua dilihat sebagai informasi saja. Br.Rudolf, ofm berharap semoga dalam diskusi dibicarakan apa yang perlu kita buat bersama agar situasi pulih kembali.Br.Rudolf, ofm juga mengutip pesan Paus Benediktus XVI bahwa damai itu ada jika lingkungan dikelola secara baik, kalau tidak maka hidup manusia akan kacau dan terjadi konflik di mana-mana. Sebagai pemateri pertama Ketua Aliansi Intelektual Suku Wolani Dan Moni (AISWM) Thobias Bagubau, memaparkan hasil kunjungan bersama Tim DPRP Provinsi Papua di Pertambangan Emas Areal Degewo Kabupaten Paniai. Thobias Bagubau mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat setempat yang belakangan ini sering mengalami konflik karena praktek PSK dan minuman keras yang merajalela, sikap aparat keamanan dan ketegangan antar masyarakat sendiri. Pada dasarnya kondisi masyarakat dan pertambangan tidak terkontrol.
Pemateri kedua, Br.Edy Rosariyanto, OFM mengatakan bahwa masyarakat lebih banyak mengalami dampak buruk dari pada dampak baik hadirnya Pertambangan di Baya Biru. Dampak buruk yang dialami oleh masyarakat setempat diantaranya : kerusakan lingkungan, perubahan pola perilaku, masyarakat hidup tanpa penerangan listrik, beban untuk mama-mama dan anak-anak, serta sering terjadi konflik. Sedangkan dampak baik hanya dirasakan oleh pengusaha karena yang memiliki modal, surat ijin usaha, ijin dari pihak kepala suku, jaminan keamanan dari Kepolisian, dan adanya konsumen/pembeli. Dalam bagian diskusi peserta yang hadir pada seminar itu memberikan tanggapan diantaranya: Lexi Pigai (STFT) mengharapakan kalau bisa pemerintah bertindak untuk anggaran APBD untuk melunasi hutang masyarakat yang sudah jual tanah, sementara Zadrak Pagawak (STFT) prihatin bahwa penambangan emas yang sementara ini berlangsung di kampung Degewo sengaja dibiarkan Pemerintah Papua untuk membunuh orang asli Papua. Juga Merlin Rumaikewi, S.pd, (ALDP) mengatakan intervensi Polisi dalam menjaga keamanan tak benar dan melanggar hukum, Polisi hanya jaga dan melindungi pengusaha saja, sedangkan masyarakat yang konflik hanya dibiarkan, Merlin meminta Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua agar menegur anggota Kepolisian yang bertugas di lokasi penambangan emas di kampung Baya Biru. Rekonmendasi yang dihasilkan dari seminar itu adalah : 1.Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Paniai sebagai pihak berwenang penuh untuk mengatur Wilayah dan penduduknya termasuk usaha pertambangan, supaya bertindak lebih tegas terhadap para pengusaha. Tidak hanya sebatas mengeluarkan SK tapi perlu tindakan nyata dan langkah evaluasi kebijakan. 2.Kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Dinas Pertambangan Provinsi Papua, supaya mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan di Degewo. Jangan tutup mata. 3.Kepada Tim DPRP Papua yang telah sampai ke Pertambangan Degewo perlu mendorong hasil temuan mereka ke Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Instansi terkait. 4.Kepolisian perlu menghentikan perlindungan terhadap perdaganan minuman keras. 5.Kepada pengusaha supaya menghentikan penyediaan mangker (pelayan di tempat karaoke) karena terbukti menimbulkan konflik dan memperluas penyebaran HIV/AIDS.
|
Menghadirkan Kembali Taman Firdaus yang Diciptakan Allah: Peletakkan Batu Pertama Gedung Kantor Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC).
Jayapura, 29 Agustus 2009. Menghadirkan kembali taman firdaus yang diciptakan Allah diwujudkan dengan kehadiran kantor KPKC oleh Ordo Fratrum Minorum di Tanah Papua. Setelah melewati proses perencanaan dan perancangan teknis, maka tanggal 10 Agustus 2009 diadakan pembangunan kantor KPKC yang ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Pimpinan Ordo Fransiskan Kustodi Duta Damai di Tanah Papua. Turut hadir dalam acara tersebut mitra SKP; Olga Hamadi dari KONTRAS, Anike Merino dari KPKC Sinode GKI , seluruh karyawan SKP, dan saudara-saudara Noviasiat OFM sentani. Dalam Sambutannya Pater Gabriel, OFM selaku Kustos Duta Damai Tanah Papua mengatakan : kehadiran kita di sini untuk meletakkan batu pertama Rumah KPKC, kita memulainya dalam nama Tuhan, karena pembangunan rumah ini adalah sebagai : alat memuliakan nama Tuhan, memperhatikan martabat manusia dan keutuhan ciptaan. Lanjut Ptr.Gabriel Ngga, OFM : Firdaus yang diciptakan Tuhan ditemuakn kembali, terjadi hubungan yang mesrah, keharmonisan antara : Manusia dengan Tuhan yang saling berdekatan, Manusia dengan manusia yang saling menjalin hubungan harmonis, dan juga manusia dengan alam yang saling menjalin hubungan kedekatan. Kehadiran KPKC dimaksudkan untuk menghadirkan kembali Firdaus yang diciptakan Allah. Sehingga warta keselamatan/kedamaian dapat terwujud melalui kita yang berkarya di KPKC. 
Acara Peletakkan batu pertama kantor KPKC diadakan dalam bentuk ibadah sabda yang dipimpin oleh Kustos Duta Damai. Dalam renungan yang diambil dari injil Matius 7:24-27 Pater Gabriel Ngga,OFM mengatakan : banyak sekali nasehat Yesus, namun semuanya diringkas ke dalam ajaran cinta kasih terhadap sesama dan cinta kasih terhadap Tuhan dengan segenap jiwa raga. Diatas dasar inilah kita berkarya. Jawatan KPKC dimaksudkan untuk mampu mewujudkan Nasehat Yesus ini. Kita diharapkan mampu mendasarkan diri kita pada perintah utama. Itu sama dengan meletakkan banguan di atas batu. Menurut Pater Gabriel Ngga, OFM. Dalam mewujudkan KPKC akan mendapatkan banyak tantangan yang melanda kehidupan kita, maka kita harus memiliki iman yang besar. Oleh sebab itu kita harus menghantarkan diri kepada ajaran Yesus sendiri, agar tantangan pun dapat diatasi seperti Yesus mati karena Cinta. Maka firdaus yang telah hilang bisa ditemukan kembali ketika kita menemukan kedamaian dan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Alam. Sementara itu tahun 2009 adalah masa transisi bagi status SKP Keuskupan Jayapura untuk ditiadakan. Sekertariat Keadilan dan Perdamaian ( SKP ) akan dimaksimalkan ke dalam Komisi-komisi Keuskupan Jayapura, hal ini sesuai dengan notulen KPKC OFM atau input-input Keputusan kapitel OFM tentang status SKP pada tanggal 17 Desember 2008. Disisi lain KPKC akan didirikan oleh ordo Fransiskan dengan maksud mendaratkan spiritualitas Fransiskan dalam hal Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan sesuai dengan injil Kristus. Kegiatan KPKC sendiri akan terfokus kepada empat bidang yaitu : (1) Ekologi, (2) Odha, (3) Advokasi, (4) Animasi. Selesai peletakkan batu pertama, acara dilanjutkan dengan makan bersama di bawah kerindangan pohon. Kantor KPKC renacan akan dioperasikan pada tahun 2010 bersamaan dengan selesainya pembangunan bangunan gedung kantor. |
Mama-Mama Pedagang Asli Papua Tagih Janji Pemerintah Bangun Pasar: DPR Papua Gelar Rapat Pansus
Jayapura,9 Juni 2009. Setelah sekian lama vakum dan sibuk berkampanye ke basis masing-masing dalam rangka pemilihan calon anggota legislatif untuk periode berikut, pada hari Rabu (3/6) Pansus Pembangunan Pasar Modern Bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua menggelar rapat dengan pihak Pemprov Papua, yakni dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait dengan pembangunan pasar. Diakhir masa bakti anggota Pansus pembangunan pasar yang tinggal beberapa bulan lagi dan perasaan dikhianati oleh eksekutif, Pansus segera bereaksi dengan memanggil pihak eksekutif untuk menanyakan alokasi anggaran bagi pembangunan pasar yang tidak dilakukan, padahal sudah disetujui bersama antara legeslatif dan eksekutif. Walau terkesan lambat dalam menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap angggaran yang telah diusulkan saat sidang pembahasan APBD TH 2009, pada bulan Desember 2008, namun upaya ini patut didukung. Rapat yang dilakukan disalah satu ruang pertemuan DPR Papua ini, selain mengundang pihak Pemprov yang dihadiri oleh SKPD terkait yakni Kepala Dinas Koperasi, Badan Pertanahan Nasional, Pimpinan Umum PD Irian Bakti, Dinas PU, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Bank Papua, dan Perwakilan Sekda Provinsi Papua. Pansus juga mengundang SOLPAP (Solidaritas Mama-Mama Pedagang Asli Papua) yang selama ini mendampingi Mama-Mama dan perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Pansus Pembangunan Pasar, Jan L Ayomi, selain mendengarkan keterangan dari beberapa SKPD yang terkait dengan pembangunan pasar, juga menetapkan tugas Pokja, yang dibentuk oleh Pansus sehari sebelumnya untuk melakukan koordinasi. Terkait dengan berbagai persiapan yang dibutuhkan untuk pembangunan pasar. Jumlah Pokja yang dibentuk ini ada 3 (tiga). Dengan masing-masing tugas, yakni : Pokja Anggaran diketuai oleh Y Rumbairussi. Bekerja untuk mendorong alokasi anggaran bagi pembangunan pasar; Pokja Lokasi diketuai oleh Marthen R. Marey. Bekerja untuk mengkaji lokasi yang layak untuk pembangunan pasar; Dan Pokja Desain diketuai oleh Ibu Miriam Ambolon. Bekerja untuk menyiapkan desain yang tepat untuk pembangunan pasar. Pembentukan Pokja sendiri berdasarkan Keputusan DPR Papua No:03/PIM-DPRP/2009. 
Agenda lainnya ialah mendapatkan penjelasan tentang alokasi anggaran bagi pembangunan pasar dan rencana alokasi anggaran pada semester kedua APBD perubahan pada bulan Juli tahun 2009. Karena secara bersama Pansus menyepakati untuk mendorong anggaran pembangunan pasar pada APBD perubahan, sebelum berakhir masa baktinya. Alasan mengapa tidak ada alokasi anggaran bagi pembangunan pasar? pihak SKPD terkait yang diwakili oleh Bpk Imbiri dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Darah Provinsi Papua menjelaskan bahwa sekarang ini pemerintah sedang memikirkan tentang penggunaan anggaran bagi delapan SKPD yang baru dibentuk. Karena berkaitan dengan dana Otsus yang baru cair sekitar 15%, anggaran bagi pembangunan pasar diusulkan untuk diagendakan pada APBD 2010. Menyangkut asset tanah yang dimiliki oleh Pemprov di wilayah Kota, pihak Sekda menjelaskan bahwa banyak asset yang telah beralih fungsi. Dan Kota sebaiknya mengusulkan design karena berkaitan dengan kewenangan administratif. Ditambahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BTN), agar tanah yang sekarang digunakan oleh Perum Damri di tengah kota Jayapura, sangat cocok dan bisa digunakan untuk pembangunan pasar. Teknisnya bisa dibicarakan dengan pihak perhubungan pusat selaku pemiliknya. Secara umum Ketua Pansus menekankan supaya pembangunan pasar harus dilakukan secara komprehensif. Karena penting dan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi orang asli Papua serta terkait dengan peruntukan Otsus yang tepat sasaran. Untuk itu sebelum pembangunan pasar dimulai, harus dilakukan berbagai kajian secara menyeluruh agar nantinya pasar layak digunakan. Selain itu mempunyai nilai estetika yang lekat dengan ciri khas orang asli Papua hingga bisa dijual sebagai objek wisata. Bank Papua juga diminta membentuk Unit Usaha Mikro bagi orang asli Papua. Mengingat alokasi dana Otsus adalah hak orang asli Papua. Penting juga dilakukan studi banding kebeberapa tempat yang berhasil memberdayakan ekonomi masyarakat lokalnya. Demikian diungkapkan oleh beberapa anggota Pansus yang hadir. Tempatnya bisa di daerah pasifik yang memiliki kesamaan budaya dengan orang asli Papua maupun daerah-daerah lain di Indonesia yang sudah lebih dulu berhasil. Karena ketika pasar ada dan digunakan, Mama-Mama mampu mengatur manajemen usahanya dan bersaing dengan pedagang dari luar Papua. Setelah mengemukakan berbagai saran dan pertimbangan, Ketua Pansus menegaskan supaya Pokja harus mulai bekerja. Koordinasi teknis segera dilakukan dengan berbagai pihak, baik Pemprov dan Pemkot, terutama SKPD yang terkait dengan pembangunan pasar. Disarankan supaya pada rapat selanjutnya pihak Kota juga harus diundang untuk hadir. Dan Masing-masing Pokja sudah bisa mempresentasikan hasil kerjanya. Rapat kemudian ditutup oleh Ketua Pansus pada pukul 13.00 WIP dan akan dilanjutkan lagi pada minggu berikutnya sesuai dengan agenda yang disebutkan diatas. Nah, yang menjadi pertanyaan ialah apakah efektif pekerjaan yang akan dilakukan oleh Pansus ini, mengingat masa kerja yang tinggal beberapa bulan lagi? Dan bagaimana tindakan kongkretnya?On va voir ! (Kita lihat nanti !)
|
Mama-Mama Pedagang Asli Papua Tagih Janji Pemerintah Bangun Pasar: Tim Lobi SOLPAP Gelar Pertemuan dan Konferensi Pers
Jayapura, 6 Juni 2009. Tim Lobi Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) menggelar pertemuan koordinasi guna menyikapi pernyataan eksekutif maupun legislatif mengenai pembangunan pasar di tengah Kota Jayapura bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP). Pertemuan berlangsung di Kantor Keuskupan Jayapura, pada Jumat, 29 Mei 2009. Direktur SKP Keuskupan Jayapura selaku Koordinator Tim Lobi SOLPAP mengatakan pertemuan kali ini bertujuan menyikapi kesimpangsiuran pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang berjualan di Kota Jayapura. "Pokok permasalahan sekarang, ada pihak yang mengatakan anggaran pembangunan pasar bagi Mama-Mama telah dialokasikan, tetapi ada juga pihak yang mengatakan tidak dianggarkan bahkan tidak ada uang. Berkaitan dengan soal ini, apa yang harus kita lakukan?". Sementara itu, Mientje Roembiak, (Pokja Perempuan MRP) mengatakan pihaknya sudah lama berjuang supaya pasar bagi Mama-Mama Papua segera dibangun tetapi hingga saat ini belum terlaksana. "Menjelang akhir Desember 2008, kami empat orang dari MRP, tiga orang perwakilan Mama-Mama, Frederika Korain (SKP Jayapura) dan Ketua Pansus Pasar DPRP, Jan L. Ayomi melakukan pertemuan di Kantor DPRP. Pada waktu itu, saya langsung telepon Achmad Hatari dan menanyakan perihal dana/anggaran pembangunan pasar untuk Mama-Mama. Hatari menjawab bahwa dana telah dialokasikan, tetapi mengapa sekarang bilang tidak ada uang?", kata Mientje Roembiak. Berdasarkan fakta ketidakseriusan yang ditunjukkan oleh Pemerintah untuk segera membangun pasar, maka Miryam Ambolon, salah seorang anggota Pansus Pasar DPRP mengatakan kita harus mendorong Pansus Pasar DPRP terus bekerja karena Pansus memiliki kekuatan yang besar untuk meminta Pemerintah segera bangun pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua di tengah Kota Jayapura. Pertemuan ini menghasilkan dua keputusan bersama yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat yaitu, 1) Melakukan pertemuan dengan Pansus Pasar DPRP dan meminta Pansus untuk menjalankan tugas koordinasinya mengundang Pemprov, Pemkot, Pansus Pasar dan Tim Lobi SOLPAP untuk duduk bersama ; 2) Melakukan audiensi dengan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu untuk dua hal; a) Meminta ketegasan Pemprov soal komitmen, terutama anggaran pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua; b) Meminta Gubernur menggunakan kewenangannya untuk mengatur pasar secara tertulis. 
Pada pk 14.22 -15.10 WP dilakukan jumpa pers yang dipimpin langsung oleh Koordinator Tim Lobi SOLPAP, Br. Rudolf Kambayong ofm didampingi oleh Olga Hamadi (Kontras Papua), Mama Neli Pekey & Heronia Mur, (Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua), Miryam Ambolon (Pansus Pasar DPRP), Manfred Naa, SH (Praktisi Hukum). Adapun isi tuntutan yang dikemukakan oleh Tim Lobi SOLPAP adalah sebagai berikut, 1. Alokasi anggaran bagi pembangunan pasar modern Mama-Mama Pedagang Asli Papua di Kota Jayapura, harus dimasukkan pada semester kedua tahun ini tanpa alasan apa pun. Mengingat koordinasi teknis antara Pemerintah Kota dan Pemprov telah usai sejak Walikota bersurat ke Pemprov. 2. Pasar harus dibangun modern dengan corak khas Papua dan berada di tengah-tengah kota Jayapura, seperti yang kami usulkan dalam beberapa kesempatan tatap muka dengan Pemprov, DPRP, dan Pemkot dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. 3. Pansus Pasar khusus untuk Mama-Mama Pedagang Asli Papua hendaknya bekerja secara sungguh-sungguh mengawasi dan rutin memonitor alokasi anggaran bagi pembangunan pasar Mama-Mama sampai pembangunan pasar terealisasi. 4. Pansus juga segera memfasilitasi pertemuan antara Pemkot dan Pemprov agar ada kejelasan mengenai rencana realisasi pembangunan pasar. 5. Supaya kinerja pemerintah lebih efektif dan tidak mengorbankan masyarakat lagi dengan alasan teknis birokrasi, sebaiknya mulai sekarang Pemprov membenahi sistem administrasi dan koordinasi internal agar memudahkan respon yang cepat terhadap kebutuhan masyarakat. Pertemuan Tim Lobi SOLPAP dan konferensi pers diikuti oleh SKP Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, KPKC Sinode GKI Tanah Papua, LP3A-Papua , Pokja Perempuan MRP, Pansus DPRP, KKRS STFT Fajar Timur, Front Pepera, UKM DEHALING Uncen, Praktisi Hukum, dan Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP).
|
Pemprov Belum Tepati Janji Bangun Pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP): Tim SOLPAP Gelar Rapat Koordinasi Advokasi
Jayapura, 30 Mei 2009. Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP) telah lama berjuang untuk mendapatkan pasar di Kota Jayapura, tetapi usaha dan perjuangan belum menemui titik terang, karena hingga saat ini Pansus Pasar DPRP yang telah terbentuk sejak 23 September 2008 belum melaksanakan tugasnya secara maksimal. Mama-Mama penjual sayur, pinang, buah-buahan dan ikan asar yang selama ini berjualan di Depan Galael, Depan Pertokoan Jalan Irian, Depan Bank Papua dan di Ampera masih tetap bertahan di lahan parkir dan emperan toko, menahan hujan, angin dan sengatan matahari lantaran belum adanya pasar bagi mereka. Berita amat mengejutkan datang dari salah seorang anggota Komisi C DPRP, Benyamin Patonodok yang juga salah seorang anggota Pansus Pasar DPRP yang mengatakan bahwa tidak ada alokasi dana pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP). Berita yang sama datang dari Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Achmad Hatari yang mengatakan bahwa tidak ada alokasi dana, karena Pemkot belum menulis surat kepada Gubernur Provinsi Papua. Hal ini ditanggapi oleh Kepala Bappeda Kota Jayapura, Frans Pikey yang mengatakan bahwa Pemkot Jayapura telah menulis surat kepada Gubernur Provinsi Papua pada 14 Oktober 2009. Surat dengan nomor 511.2/1334/SET/2008 ditandatangani langsung oleh Walikota Jayapura, M.R. Kambu.
Menyikapi polemik dan saling lempar tanggung jawab ini, Tim Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) yang terdiri atas Perwakilan MPAP, SKP Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, LP3A-Papua, KPKC Sinode GKI Tanah Papua, KKRS STFT Fajar Timur, DEHALING Uncen dan Front Pepera melakukan rapat koordinasi di Rumah Perdamaian SKP Keuskupan Jayapura, pada Kamis, 21 Mei 2009. Pokok permasalahan yang dibahas dalam pertemuan ini adalah persoalan Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP) yang hingga kini masih berjualan di emperan toko dan tempat parkir di Kota Jayapura karena belum mendapatkan pasar yang layak untuk berjualan. Selain itu, Tim SOLPAP juga berupaya mencari strategi advokasi lanjutan hingga mendapatkan kejelasan seputar polemik pembangunan pasar bagi Mama-Mama yang disiarkan melalui media massa. Pertemuan kali ini menghasilkan beberapa keputusan penting di antaranya menunjuk Direktur SKP Keuskupan Jayapura, Br. Rudolf Kambayong ofm menjadi koordinator Tim Lobi SOLPAP. Selain itu ditetapkan beberapa agenda penting yang harus dikerjakan beberapa minggu ke depan untuk mengadvokasi pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP) yaitu, SKP Keuskupan Jayapura membuat catatan pendek (2 halaman) tentang sejarah & proses advokasi pasar untuk Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP). Pada Senin, 25 Mei 2009 mengirim surat ke PGGP, Pansus, Pemprov & Pemkot; Jumat, 29 Mei 2009, Tim Lobi SOLPAP melakukan pertemuan dengan PGGP bertempat di Ruang Rapat Kantor Keuskupan Jayapura. Selanjutnya pada Senin, 1 Juni 2009, Tim Lobi SOLPAP melakukan pertemuan dengan Pansus Pasar DPRP. Dan Selasa, 9 Juni 2009: Tim Lobi SOLPAP melakukan pertemuan dengan empat pihak yakni Pansus DPRP, Pemerintah Provinsi Papua & Pemerintah Kotamadya Jayapura. Pada Kamis, 11 Juni 2009, direncanakan dialog interaktif di TV MANDIRI PAPUA. Tujuan utama rencana advokasi pasar bagi Mama-Mama yang dilakukan oleh Tim Lobi SOLPAP adalah 1.) Meminta Pemerintah segera membangun pasar yang layak di tengah Kota Jayapura untuk Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP); 2.) Tm Lobi SOLPAP berjuang mendorong Pansus Pasar DPRP untuk segera bekerja; 3.) Meminta DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua menjelaskan alamat anggaran untuk pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP) di Kota Jayapura. Upaya untuk mendapatkan pasar yang layak sudah dimulai oleh Mama-Mama Pedagang Asli Papua dan SKP Keuskupan Jayapura sejak 2004. Selanjutnya pada 25 Januari 2007 Dalam rapat koordinasi dengan LSM, maka dibentuk Tim Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP). Dan mulai saat itu berbagai upaya terus dilakukan oleh Tim Lobi SOLPAP di antaranya lobi ke Pemerintah Kotamadya Jayapura, Pemerintah Provinsi Papua, DPRD Kota Jayapura, MRP, DPR Papua dan berbagai instansi terkait lainnya. Hasil lobi ialah terbentuknya Pansus Pasar DPRP dan dimasukkannya anggara pembangunan pasar dalam APBD 2009, tetapi realisasi pembangunan pasar belum terlaksana sampai saat ini.
|
Pemberdayaan Kelompok Basis: Pelatihan CO
Jayapura, 30 Mei 2009. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura melaksanakan pelatihan pengorganisasian kelompok basis. Pelatihan berlangsung selama tiga hari, 11-13 Mei 2009 diikuti oleh staf SKP, relawan SKP, dan beberapa kelompok basis, di antaranya Komunitas Bersatu untuk Kebenaran (BUK), Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP), dan Perwakilan Ojek Abepura. Direktur SKP Keuskupan Jayapura, Br. Rudolf Kambayong ofm dalam kata pembukaan mengawali rangkaian pelatihan mengatakan pelatihan ini dilaksanakan untuk menyikapi perkembangan dan situasi masyarakat, terutama hak-hak masyarakat kecil. Masyarakat memiliki kemauan untuk berubah dan mengubah hidup, tetapi tidak memiliki akses ke sana, maka kita perlu bantu mereka. Fasilitator pertemuan, Roem Topatimasang mengatakan pertemuan ini bertujuan, 1) Pada akhir 2010 kelompok-kelompok basis sudah terorganisir dengan baik; 2.) Kelompok-kelompok basis memiliki program kerja; 3.) Kelompok-kelompok basis mampu menjalankan programnya dengan baik. Proses pelatihan pengorganisasian kelompok basis ini berjalan lancar. Peserta diminta melihat hal-hal yang telah dikerjakan dalam kelompok basisnya dan hal-hal yang belum dilaksanakan. Hasil identifikasi kegiatan kelompok basis adalah sebagai berikut: 
1. Kelompok Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP) 1.Jumlah anggota yang terdata sampai sampai saat ini 689 orang, di 7 wilayah. 2.Kepengurusan belum terbentuk tetapi pertemuan-pertemuan telah terjadi/sering dilakukan. 3.Program/rencana kerja belum tersusun. 4.Sarana: Belum ada, selama ini masih menumpang di fasilitas Gereja a.n SKP Keuskupan Jayapura. Yang perlu dilakukan untuk Kelompok Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP): 1.Data anggota perlu dilengkapi. 2.Kepengurusan perlu dibentuk. Bentuknya bagaimana perlu dibicarakan lagi dalam anggota kelompok. Tiap wilayah perlu ada koordinator. 3.Perlu menyusun program/rencana kerja. 4.Berkaitan dengan sarana, apa yang perlu dilakukan? Mana sarana yang dianggap paling penting sekarang? 2. Kelompok Korban, Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) 1.Korban Abepura berjumlah 155 orang, (5 orang telah meninggal, sisa 150 orang di Abepura), Korban Abepura, Jayapura. Sudah didata tetapi belum masuk komputer SKP 2.Sudah ada koordinator di tiap wilayah. Sudah ada pertemuan-pertemuan anggota, tetapi perwakilan saja. 3.Program/rencana kerja: Sudah berjalan, pelatihan trauma healing, mengadakan pelatihan-pelatihan capacity building, dan kampanye peringatan hari-hari terjadinya kekeraasan. 4.Sarana: Sudah ada sekretariat dan peralatan kerja. Yang perlu dilakukan untuk BUK: 1.Masukan data anggota: nama & alamat. Perlu ditambahkan peristiwa kekerasan apa dan kapan/tahun berapa? Penyelesaian kasusnya bagaimana? 2.Bentuk organisasi, perkumpulan. Perlu dibicarakan bentuk organisasinya seperti apa yang paling cocok? Akta notaris sudah ada, tinggal bicara ulang kepengurusannya. 3.Perlu ada rapat/pertemuan membuat program jangka panjang. Program tahunan sudah ada. Perlu ada review program; mana yang sudah berjalan dan mana yang belum berjalan.
|
Sidang Kasus Makar Buchtar Tabuni:Tahap Pemeriksaan Saksi
Jayapura, 25 Maret 2009. Setelah menjalani empat kali tahap pemeriksaan, kali ini Buchtar Tabuni menjalani pemeriksaan tahap ke lima. Buchtar Tabuni dibawa oleh mobil kejaksaan dan digiring oleh dua truk Polisi menuju Pengadilan Negeri Abepura dari arah Jayapura pada tanggal 25 Maret 2009 sekitar pukul 09.00 WP. Seperti sidang-sidang sebelumnya, pihak polisi melakukan pengawalan ketat. Pihak keamanan terdiri dari kesatuan Samapta, Reskrim (Polresta, Polsek Abepura), dan Brimobda Papua ( termasuk tim gegana) dengan menggunakan senjata lengkap. Tepat pukul 10.30 sidang dibuka oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Manungku Prasetyo, SH dengan hakim anggota masing-masing Lucky Rombot Kalalo, SH dan Hotnar Simarmata, SH. Sebelum memulai sidang Buchtar Tabuni ditanyai tentang kesehatannya. Sidang dapat dilaksanakan karena Buchtar Tabuni dalam keadaan sehat ketika ditanyai. Sidang dilanjutkan dengan menanyakan keterangan saksi-saksi. Keterangan para saksi : Saksi Mario Warimon, Anggota Polresta Jayapura Mengikuti apel di Polsekta pada pk.06.00 untuk pengamanan unjuk rasa di Gapura Uncen. Ada surat perintah pengamanan tetapi tidak baca dan tidak tahu isinya. Saksi bertugas merekam proses demonstrasi. Tahu isi orasi di Gapura Uncen, dan ada pamflet (sapanduk) yang isinya reviuw Peperara 1969. Saksi melihat Buchtar di Uncen dan Ekspo. Selama orasi tidak ada gangguan keamanan. Semua berjalan lancar dan bisa dikendalikan. Massa berkumpul hendak ke Jayapura DPRP dengan tujuan apa, tidak diketahui. Saksi Pieter Kalahatu, Wakapolsekta Abepura Peran saksi pada pengamanan unjuk rasa adalah mengatur arus lalu lintas bersama seniornya, Pak Dance dari Polda Papua. Ada surat perintah pengamanan, tetapi tidak tahu isi suratnya. Pada kesempatan ini, PH Harry Maturbongs, SH meminta Majelis Hakim menghadirkan saksi atas nama Kapolresta dan Kapolsekta, tetapi ditolak. Saksi Habel Mansi, Kanit Lantas Polsekta Abepura Apel di Polsekta pk. 06.00 WP, selanjutnya melakukan sweeping di Lingkaran Atas Abe. Saksi ke Gapura Uncen dan lihat Buchtar Tabuni. Saksi bertugas mengatur jalannya arus lalulintas. Dan sepengetahuan saksi tidak terjadi kemacetan karena arus lalulintas dialihkan ke arah belakang ekspo. Saksi lebih banyak mengatakan tidak tahu karena sibuk mengatur lalulintas dan karenanya tidak memperhatikan apa yang dilakukan oleh massa dan terdakwa. 
Sedangkan di luar sidang sekitar pukul 09.00 beberapa mahasiswa yang berusaha masuk ke dalam halaman kantor Pengadilan tidak diijinkan oleh aparat keamanan yang berjaga di pagar pintu masuk halaman pegadilan Negeri, Abepura. Pada pukul 10.00 WP, beberapa mahasiswa berkumpul di depan Regina moll. Pada pukul 10.45 WP, massa melakukan orasi damai yang dikawal oleh pihak keamanan. Pihak keamanan yang mengawal massa pada saat itu diperkirakan sebanyak 100 orang dan mahasiswa yang berorasi pada saat itu diperkirakan sebanyak 100 orang. Berikut ini beberapa isi dari orasi damai mahasiswa : kita datang di sini berbicara tentang demokrasi dan kebenaran, jadi kalau ada diantara kita yang sakit hati kita tahan. Kita tidak sadar bahwa ketika kita semua berintegraksi di Indonesia, maka sama saja kita mengaktifkan bom waktu untuk membunuh kita punya ras, kita punya bangsa 30 tahun mendatang. Maka itu Kita minta supaya Buchtar Tabuni dibebaskan, dan yang harus memperjuangkan ini adalah teman-teman semua. Buchtar, bebaskan Buchtar Bebaskan Buchtar bebaskan massa menyanyikan lagu : stop baku tipu, stop baku tipu, stop baku tipu di luar sidang, di luar sidang, diiringi dengan sebuah guitar akustik. Yang kita inginkan hanya satu, kami hanya inginkan referendum itu saja. Karena kami minta itu, makanya dong sengaja mo iris tong punya leher, kita semua nanti dapat bagian satu-satu, kamu siap untuk lawan.
Setelah mengalami penangkapan tanggal 3 Desember 2008, Buchktar Tabuni menjalani masa tahanan untuk menjalani proses persidangan. Buchtar Tabuni didakwa melakukan perbuatan Makar pada aksi IPWP (Inter-Parliamentarian for West Papua) tgl. 16 Oktober 2008, menghasut dan melawan petugas berwenang sebagaimana tercantum dalam 106 KUHP jo 110 KUHP dan pasal 212 KUHP dan pasal 216 KUHP. Sidang berakhir pada pk. 13.00. Sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dilakukan pada Rabu, 01 April 2009.
|
"Melindungi Hak Hidup Orang Papua": SKP se-Papua Gelar Raker Tahunan
Jayapura, 1-4 Maret 2009. Forum Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Papua yang terdiri dari SKP Keuskupan Agung Merauke, SKP Jayapura, SKP Manokwari-Sorong, SKP Keuskupan Agats dan SKP Keuskupan Timika melaksanakan Rapat Kerja (Raker) Tahunan VII di Sentani. Raker kali ini mengambil tema umum "Melindungi Hak Hidup Orang Papua". Peserta yang hadir dalam raker ini berasal dari kelima SKP, narasumber dan para mitra. Raker berlangsung selama empat hari ditambah sehari untuk rekreasi. Hari pertama diisi dengan 1) laporan koordinator SKP se-Papua, 2) laporan program restrukturisasi SKP se-Papua, 3) rangkuman fasilitator dan 4) laporan konsultan program restrukturisasi. Pada hari kedua dilanjutkan dengan 1) berbagi pengalaman kerja, tantangan dan pergumulan SKP-SKP dalam karya dan 3) paparan materi nara sumber. Hari ketiga, 1) laporan masing-masing SKP dan 2) pembagian kelompok diskusi. Pada hari keempat dilakukan presentasi dari setiap kelompok kerja dan penyusunan rencana kegiatan bersama SKP se-Papua 2009. Hari terakhir diisi dengan rekreasi bersama di Pantai Amai-Depapre untuk menikmati indahnya alam dan bergembira ria bersama.
Raker dibuka secara resmi oleh Pastor Willem Warat Bungan OFM mewakili Uskup Keuskupan Jayapura dan Kustos Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua selaku Badan Pendiri SKP Jayapura. Dalam sambutannya Pastor Willem pertama-tama mengucapkan terima kasih yang mendalam atas kehadiran semua peserta dan nara sumber. Ia menambahkan bahwa bekerja di bidang keadilan dan perdamaian merupakan ungkapan keberpihakan terhadap orang-orang kecil, orang-orang yang tidak merasa aman. Dan lebih jauh kita berjuang untuk menegakkan harkat dan martabat manusia secara utuh. "Berbicara mengenai keadilan dan perdamaian, bukan hanya berbicara tentang manusia, tetapi juga keutuhan ciptaan alam semesta", tegas Pastor Willem.
Sementara itu, penanggung jawab Raker, Br. Rudolf Kambayong OFM mengatakan Raker kali ini tidak berbeda dengan Raker sebelumnya yakni untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan selama tahun 2008, termasuk mengevaluasi program restrukturisasi SKP Papua dan merancang program kegiatan bersama SKP tahun 2009. Terkait dengan program tahun 2009, kehadiran para nara sumber yang menyampaikan materinya semakin memperjelas gambaran situasi Papua dan analisa mereka akan berguna dalam menyusun rencana di tahun 2009. 
Ada pun hasil yang dicapai dalam raker kali ini ialah adanya kesepakatan bersama setiap SKP untuk terus bekerja dalam kerangka "Melindungi Hak Hidup Orang Papua". Hal ini lahir dari keprihatinan mendalam yang diungkapkan oleh peserta yang hadir. Dalam dinamika pertemuan terungkap bahwa saat ini orang Papua belum mengalami kemajuan berarti dibandingkan daerah lain. Indikasi ini ditunjukkan dengan merosotnya mutu pendidikan, mutu pelayanan kesehatan yang masih rendah, perekonomian orang Papua yang semakin terabaikan dan korupsi yang tak kunjung henti di tanah ini.
Salah satu program yang akan dikembangkan tahun ini adalah pengembangan sistem data base. Diharapkan dengan tersedianya data yang akurat dari berbagai bidang dapat membantu kegiatan-kegiatan SKP ke depan dalam rangka mewujudkan Papua Tanah Damai.
Raker kali ini terbilang lengkap karena dihadiri oleh semua Kantor SKP se-Tanah Papua. SKP Keuskupan Manokwari-Sorong yang baru dihidupkan kembali pada Januari 2009 pun turut hadir dalam Raker ini. Jumlah peserta dalam Raker kali ini adalah 31 orang.
Semoga pergumulan selama raker dan rencana yang telah disusun bersama bisa menjadi kerangka kerja bagi SKP se-Papua dalam melaksanakan tugas-tugasnya di tahun ini dan tahun yang akan datang. Selamat dan Sukses.(*)
|
"Terimakasih Br. Budi ofm, Selamat berkarya Br. Rudolf ofm"
Jayapura, 12 Januari 2009. Kantor Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura melakukan serah terima jabatan Direktur SKP di Ruang Rapat Kantor Keuskupan Jayapura. Serah terima jabatan dilakukan dari Direktur lama, Br. J. Budi Hernawan ofm kepada Direktur baru, Br. Rudolf Kambayong ofm. Acara ini dihadiri oleh Badan Pendiri (BP) SKP, Uskup Jayapura, Mgr. Dr. Leo Laba Ladjar ofm dan Kustos Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, Pastor Gabriel Ngga ofm serta Delegat Keuskupan untuk SKP, Bapak Erhardus Desa. Selain itu hadir pula undangan dari KPKC Sinode Kingmi, Pdt. Dr. Beny Giay, Sekretaris Eksekutif FOKER LSM Papua, Septer Manufandu, Ketua Kontras Papua, Harry Maturbongs, Koordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Peneas Lokbere, dan Ibu Miriam Ambolon dari DPRP serta seluruh staf SKP
Uskup Jayapura, Mgr. Dr. Leo Laba Ladjar ofm dalam sambutannya mengucapkan terimakasih kepada Br. Budi ofm yang telah melaksanakan tugas dengan sistim kerja yang rapih, mengerahkan staf untuk bekerja maksimal, dan membuat laporan pertanggung jawaban, baik laporan tahunan maupun keuangan kepada sponsor dan badan pendiri dengan sangat baik. Semoga prestasi ini dapat dilanjutkan oleh Direktur yang baru Br. Rudolf ofm. Ia menambahkan Keadilan dan perdamaian merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tanpa keadilan tidak akan ada kedamaian. Selain itu Uskup juga meminta maaf atas segala hal yang tidak dapat ia lakukan. “Ada keluh kesah bahwa Uskup kurang memberikan perhatian dan kurang mendukung SKP, maka saya mau tegaskan bahwa saya sangat terbatas dengan tugas yang sangat banyak sehingga kalau SKP banyak menuntut perhatian lebih, saya tidak sanggup. Saya mendukung hal-hal yang saya anggap cocok untuk meletakkan dasar membangun Papua di Papua, bukan di luar. Kalau tidak cocok, saya tidak setuju”, kata Uskup. Berkaitan dengan masa transisi SKP yang akan ditangani sendiri oleh Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, Uskup tetap mengharapkan ada kerja sama. Sementara itu, Kustos Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, Pastor Gabriel Ngga ofm mengatakan ke depan SKP akan ditangani oleh Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua yang akan menekankan spiritualitas fransiskan dalam rangkain pelayanan SKP. Ia juga mengharapakan ada kerja sama yang erat karena Ordo Fransiskan ada di Keuskupan. 
Br. J. Budi Hernawan ofm dalam kata-kata perpisahannya mengatakan selama bekerja di Kantor SKP selama 11 tahun, ia banyak mengalami hal-hal baru terutama di bidang kemanusiaan. “Hal yang paling menarik ialah berhadapan dengan para korban pelanggaran HAM, orang-orang yang terpinggirkan dan kerusakan lingkungan”. Ia menambahkan sebagai pribadi yang terlibat dalam perintisan SKP, sejak awal berdirinya SKP sudah banyak mengalami perubahan dari segi tenaga, tata kerja dan program kerja. Br. Rudolf Kambayong ofm selaku Direktur SKP yang baru mengharapkan dukungan penuh dari Badan Pendiri, staf Kantor SKP dan semua mitra kerja yang selama ini bekerja sama dengan SKP.
Br. J. Budi Hernawan ofm, sejak 1997 bekerja di Epouto dan Enarotali, Paniai, Papua sebagai TOPer (melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral). Selesai melaksanakan TOP langsung bekerja di SKP. Pada 2005 diangkat menjadi Direktur SKP. Selanjutnya Br. Budi ofm mendapat tugas baru dari Pimpinan Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua untuk menempuh pendidikan S3 di Canberra, Australia. Br. Rudolf Kambayong ofm, sejak 2001 bekerja di SKP sebagai TOKer (melaksanakan Tahun Orientasi Karya), dan pada 2002 menjadi staf tetap SKP Jayapura. (*).
|
290 Pasien Mendapatkan Pengobatan di Distrik Kwiyawage, Kabupaten Lanny Jaya
Jayapura, 25 November 2008. Selama tiga hari (17-19 Nopember 2008), tim SKP-Keuskupan Jayapura yang terdiri dari dr. Isye Ayomi, Sr. Wanda, Br. Agus A dan Br. Edy R mendapat kesempatan untuk melayani 290 pasien di Distrik Kwiyawage. Tim SKP merencanakan akan tinggal satu minggu di Kwiyawage sejak jumat, 14 Nopember 2008 namun karena kesulitan transportasi maka waktu yang tersedia hanya tersisa 3 hari, sementara itu kegiatan pengobatan hanya bisa dilakukan dalam 2 hari (18-19 November 2008). Kegiatan pengobatan di Kwiyawage dilaksanakan bersama-sama dengan seorang mantri (Bpk Timoty), seorang bidan (Mama Pina) dan dua kader kesehatan dari Distrik Kwiyawage. Waktu pengobatan masyarakat berlangsung dari pagi sampai sore pada 18 Nopember sedangkan 19 Nopember 2008 waktu pelayanan sangat singkat (hanya 2 jam) karena pesawat Caravan milik MAF segera tiba di Kwiyawage dari Pogapa menuju Wamena.
Di Kwiyawage terdapat 3 denominasi gereja: GIDI, BAPTIS dan KINGMI. Salah seorang tokoh Gereja GIDI (Pak Manas Tumo) mengungkapkan bahwa masyarakat di daerah Kwiyawage belum memiliki dokter selain itu juga tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai sehingga dia merasa senang dengan hadirnya tim SKP-KJ untuk melakukan pengobatan di wilayah ini. Dia berharap bahwa kegiatan serupa masih dapat dilanjutkan di masa mendatang. Dia juga menyampaikan bahwa selama ini ada masyarakat yang meninggal karena tidak sempat tertolong oleh pelayanan medis.
Kegiatan pengobatan masyarakat di Kwiyawage merupakan salah satu kegiatan yang direncanakan oleh Unit Penguatan Basis SKP dengan koordinatornya Br. Rudolf. Kegiatan serupa sudah pernah dilakukan pada tahun 2004. Salah seorang tim SKP KJ yang pernah ikut tahun 2004 dan kembali lagi dalam kegiatan ini adalah Br. Agus. Dia sangat senang karena bisa kembali ke tempat ini dan melayani masyarakat di Kwiyawage.
Salah satu masalah yang dijumpai selama pelayanan kesehatan di Kwiyawage adalah masalah bahasa. Pasien sulit untuk menangkap bahasa Indonesia sehingga sangat dibutuhkan juru bahasa. Jadi dalam kegiatan pengobatan ini kami menggunakan sekitar 3 orang juru bahasa. Mereka bekerja untuk menterjemahkan pertanyaan dokter dan juga Br Agus ke dalam bahasa daerah demikian pula sebaliknya dan satu lainnya bertugas membantu menterjemahkan dosis obat yang harus diminum oleh pasien. 
Berdasarkan pemeriksaan terhadap pasien dan observasi di sekitar kampung, tim SKP berkesimpulan kondisi gizi dari masyarakat di Kwiyawage cukup baik. Hal ini didukung oleh ketersediaan sayuran, ubi, udang, dll. Hanya yang masih memprihatinkan adalah masalah air bersih dan jamban pembuangan, masyarakat belum terbiasa untuk menyediakan air minum yang sudah dimasak dan juga membuat jamban pembuangan yang standar. Kedua hal tersebut bila tidak diatasi dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat setempat.
Di Kampung Mume, Distrik Kwiyawage yang kami gunakan sebagai lokasi pengobatan telah tersedia honai untuk merawat pasien baik pasien yang mau melahirkan maupun yang sakit parah sehingga perlu rawat inap. Menurut mantri dan bidan, honai tersebut sudah sering digunakan oleh masyarakat yang sakit. Namun menurut mereka sering kali mereka sulit memperoleh obat-obatan untuk pasien. Banyak obat yang diminta di Wamena belum dipenuhi dengan berbagai alasan. Keadaan ini juga mereka alami saat ini.
Dokter dan perawat menilai bahwa obat-obatan yang sudah tersedia di poliklinik cukup baik, yang menjadi kendala adalah persoalan pengetahuan pemanfaatan obat-obatan juga ketelitian untuk melihat masa pakai dari obat-obatan. Tim SKP menjumpai beberapa jenis obat seperti vitamin sudah kadaluwarsa namun belum dimusnahkan, jenis obat lainnya seperti sirup untuk anak-anak sudah hampir kadaluwarsa namun belum dimanfaatkan.
Masyarakat di Kampung Mume juga memiliki kesempatan untuk memasarkan hasil kebunnya yaitu 2 kali seminggu: Senin dan Kamis. Mereka berjualan di halaman depan aula pertemuan dengan meletakkan sayuran di atas rerumputan. Hari-hari pasar merupakan saat yang istimewa karena praktis semua orang ada di sekitar pasar. Waktu berjualan dimulai pagi hari sampai siang hari (13.00 WP). Tidak nampak bahwa mereka kepanasan karena memang daerah ini dingin (3000 m dpl). Hasil bumi berupa sayuran ditawarkan kepada pembeli dengan harga Rp 1000,-.Masyarakat juga menjual udang dengan harga Rp 1000,-/ekor. Udang ini diperoleh dengan memancing di Sungai Baliem (wilayah ini merupakan daerah kepala Sungai Baliem).
Kebun-kebun yang dibuat oleh masyarakat, letaknya di lereng-lereng. Kebanyakan masyarakat menanam ubi jalar (hipere) karena ini merupakan makanan pokok mereka. Selain itu mereka juga menanam kol, kacang buncis, daun bawang, dll. Jenis ternak yang dipelihara adalah kelinci dan ayam. Babi jarang dijumpai karena mati terserang penyakit. 
Program pendidikan di Desa Mume sangat memprihatinkan. Di Desa Mume ada satu sekolah dengan empat ruang kelas. Setiap ruangan dibagi menjadi 2 sehingga dalam satu ruangan ada dua kelas. Selain keterbatasan ruangan, guru-guru hanya datang ke sekolah saat ujian saja dan setelah itu kembali ke Wamena. Keadaan ini membuat banyak anak usia sekolah tidak tahu baca-tulis. Pada saat ujian kadang anak-anak diluluskan saja walaupun tidak tahu baca-tulis. Menurut Kepala Desa Mume (Pak Darinus Telenggen), ketidakhadiran guru untuk mengajar di sekolah sudah terjadi sejak tahun 2004. Dia tidak tahu alasan mengapa guru-guru tidak mau mengajar padahal bangunan sekolah ada (walaupun sederhana). Selama ini guru-guru tinggal di Wamena dan hanya tahu makan gaji saja. Mereka tidak mau berkorban tinggal di kampung untuk mendidik anak-anak. 
Di Desa Mume telah ada fasilitas lapangan olah raga seperti lapangan bola volley dan bola kaki. Olah raga bola volley sepertinya telah menjadi kebutuhan maka tidak heran bila lokasi lapangan ini selalu penuh dengan pemain dan penonton. Permainan baru berhenti bila mereka sudah tidak bisa melihat bola lagi atau karena angin dan hujan. Di tempat ini juga belum ada fasilitas penerangan seperti listrik yang bisa dipakai pada malam hari. Masyarakat masih menggantungkan penerangannya pada alam semesta. Entah kapan mereka bisa menikmati penerangan dan juga hiburan televisi. Mereka merindukan hal itu.
Penduduk Desa Mume di Distrik Kwiyawage pada 18 Nopember 2008 menerima bantuan pemerintah berupa uang yang dibagikan oleh kepada Desa sebesar Rp 700.000/kk. Sedangkan untuk anak usia remaja memperoleh Rp 100.000,-. Maka sebanyak 81 KK saat itu menerima bantuan tunai. Bantuan uang tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Masyarakat di Distrik Kwiyawage masih bingung soal posisi mereka setelah pemekaran (apakah mereka masuk Kabupaten Lani Jaya atau Kabupaten Nduga atau Jayawijaya atau lainnya?). Sejauh ini mereka merasa sebagai bagian dari Kabupaten Jayawijaya.
Keterlibatan SKP Keuskupan Jayapura di Kwiyawage berawal mula dari adanya peristiwa kekerasan di Wamena Kota yang berdampak hingga ke wilayah Kwiyawage. Sejak 15 April - Agustus 2003, aparat TNI melakukan operasi militer di sekitar kota Wamena sampai ke Distrik Kwiyawage, sebagai upaya mencari pelaku pembongkaran gudang senjata Kodim Wamena yang terjadi pada 4 April 2003. Operasi militer tersebut telah menghancurkan pemukiman masyarakat, kebun, ternak, sekolah, gereja, sehingga memaksa warga mengungsi ke berbagai distrik terdekat seperti Distrik Tiom, Sinak, serta yang terjauh adalah Mulia dan Ilaga. Sekitar September 2004 warga masyarakat mulai sedikit demi sedikit kembali ke kampung-kampung di Kwiyawage. Keprihatinan terhadap kehidupan warga masyarakat di Kwiyawage pasca operasi militer 2003 yang membuat hingga sekarang SKP Keuskupan Jayapura masih melakukan kegiatannya di wilayah ini (*).
|
Olah Kompos dan Daur Ulang Kertas
Jayapura, 4 November 2008. Sekitar 50 orang muda Katolik di Paroki Sang Penebus-Sentani bersama dengan Tim Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura menyelenggarakan kegiatan aksi olah sampah pada 11 Oktober 2008. Kegiatan aksi olah sampah juga dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2008 di Paroki Santo Fransiskus Asisi-APO yang diikuti sekitar 12 orang. Kegiatan ini dilaksanakan dengan alasan untuk meningkatkan kepedulian kaum muda terhadap masalah sampah yang terus meningkat di lingkungan sekitar kita dan untuk memperingati Pesta St. Fransiskus yang jatuh tanggal 4 Oktober. Oksi olah sampah meliputi dua kegiatan yaitu pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos dan pengolahan sampah kertas menjadi kertas daur ulang.
Koordinator Bidang Ekopastoral SKP Keuskupan Jayapura, Br. Edy Rosariyanto OFM, mengatakan dalam pengantarnya, "Setiap rumah tangga setiap hari bisa menghasilkan sekitar 60-70% sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik. Sampah organik pada dasarnya bisa diolah kembali menjadi pupuk kompos. Nah, tinggal bagaimana kita bisa belajar untuk mengolahnya menjadi bermanfaat. Kita bisa melaksanakan di tempat tinggal kita masing-masing daripada langsung membuang sampah begitu saja ke truk sampah atau membakarnya. Bila kita mampu mengolah sampah yang kita hasilkan sendiri paling tidak ada beberapa manfaat yang diperoleh, seperti lingkungan tempat tinggal kita menjadi sehat karena bebas dari sampah, tumbuhan akan subur karena memperoleh pupuk yang kita hasilkan sendiri, dan mengurangi beban pemerintah untuk mengurus sampah yang kita hasilkan sendiri".
Untuk dapat mengolah sampah menjadi pupuk maka pada kegiatan ini Br. Edy mengajarkan cara-cara sederhana mengolah sampah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama perlu dilakukan pemilahan antara sampah organik (sisa sayuran, sisa buah-buahan, sisa nasi, rumput, kertas) dan sampah anorganik (botol, plastik, kaleng, kaca). Pemilahan kedua kelompok sampah tersebut perlu dilakukan pada awal proses. Kedua, ukuran dari bahan yang mau diolah (sampah organik) sebaiknya sekitar 0,5-1 cm. Ukuran sampah sebaiknya jangan terlalu besar dan jangan terlalu kecil. Ketiga yaitu memperhatikan suhu, kelembaban dan udara. Itulah tiga hal yang perlu diperhatikan supaya proses pengomposan bisa berjalan baik.
Setelah proses penyampaian pengantar selesai kemudian dilanjutkan dengan praktek olah sampah. Para peserta yang membawa sampah dari rumah diminta maju untuk praktek langsung. Awalnya mereka merasa canggung karena harus memegang sampah namun akhirnya berani juga. Mereka mulai dengan memilah sampah, mencacah, memasukkan sampah yang telah dicacah ke dalam tong air yang sudah dilubangi yang di dalamnya sudah diisi dengan pupuk setengah jadi, mengaduknya menjadi satu secara merata kemudian menutupnya. Proses pengomposan akan berlangsung selama 6-8 minggu. Setiap minggu harus dilakukan pengadukan supaya ada pertukaran udara juga untuk memeriksa kelembaban dan suhu.
Pada bagian tanya jawab, Wulan -salah seorang peserta kegiatan aksi olah sampah di Sentani- bertanya, "Apakah pembuatan pupuk kompos dapat dilakukan di dalam pot dengan cara mencampur daun-daun dengan tanah?", kemudian Br. Edy menjawab bahwa pembuatan pupuk kompos dapat juga dilakukan dalam pot. Soal wadah pengomposan, bila kita memiliki halaman di rumah, pembuatan kompos bisa dilakukan dengan menggali lubang di halaman dengan ukuran tertentu dan kemudian mengisi lubang tersebut dengan sampah-sampah dari dapur maupun halaman. Supaya proses berjalan baik maka perlu dilakukan pengadukan dan juga penyiraman bila nampak kering. Selain membuat lubang, bila memiliki cukup dana, tempat pengolahan sampah bisa juga dengan cara membuat bak sampah yang lengkap dengan atap.
Setelah memahami dan mencoba proses pengolahan sampah menjadi pupuk kompos, kemudian Rosa Moiwend, Koordinator Unit Investigasi SKP, melanjutkan dengan kegiatan daur ulang sampah kertas. Pada bagian awal, diperkenalkan peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan kertas daur ulang seperti loyang besar, screen sablon, tripleks besar, blender, air dan lem fox. Bahan yang dibutuhkan adalah kertas bekas (koran, kardus/karton, kertas bekas print). Setelah para peserta mengenal peralatan dan bahan yang diperlukan kemudian dilanjutkan dengan memperkenalkan proses pembuatan kertas daur ulang. Pertama, kertas bekas di pilah-pilah dan dipisahkan menurut jenisnya (kertas koran, kertas putih HVS, kertas karton), kedua kertas kemudian dipotong atau disobek kecil-kecil, lalu direndam di dalam ember berukuran sedang dengan air selama satu malam, sesuai dengan jenisnya. 
Ketiga, kertas yang sudah direndam, diambil sedikit demi sedikit lalu diblender sehingga menjadi bubur kertas. Keempat, bubur kertas dimasukkan ke dalam ember yang berisi sedikit air. Lalu diberi campuran lem secukupnya, kemudian diaduk hingga lem putih dapat bercampur secara merata. Kelima, proses mencetak kertas. Bingkai dipegang dengan kedua tangan, pada sisi kiri dan kanan, bingkai screen kassa ditempatkan dibagian bawah. Posisi bingkai adalah datar dan sejajar diatas permukaan loyang. Kemudian bingkai diturunkan sedikit miring lalu mendatar ke dalam loyang, sambil seorang teman membantu mengaduk air berisi bubur kertas dengan pelan. Bingkai tetap masih dipegang dengan posisi di dalam air, terendam hingga dasar loyang. Biarkan kira-kira 30 detik, kemudian diangkat pelan-pelan, dengan posisi rata, jangan sampai miring. Bubur kertas akan terlihat melapisi screen bingkai kertas. Permukaan bagian bawah bingkai di lap dengan tangan untuk menghilangkan airnya. Setelah itu bingkai bagian atas dilepas dari bingkai yang bawah. Bingkai yang terdapat lapisan bubur kertas, kemudian dibalik posisinya secara cepat di atas kain spanduk yang dialas dengan tripleks. Posisi yang ada lapisan bubur kertas, ditaruh di bawah, menghadap kain. Gunakan spons untuk menghilangkan air, dengan cara menyerap air pada permukaan kasa. Setelah air berkurang, cobalah untuk melepaskan kertas dengan mengetuk-ngetukkan jari pada bagian belakang kasa tadi. Lakukan secara pelan dan hati-hati agar tidak merusak cetakan. Setelah seluruh cetakan terlepas, angkatlah bingkai. Biarkan kertas tersebut sampai kering kemudian bisa dilepas dari kain dan dimanfaatkan.
Peserta yang hadir sangat antusias untuk mencoba mempraktekkan pembuatan kertas daur ulang. Bagi mereka, pengalaman membuat kertas daur ulang merupakan hal yang baru. Tidak jarang mereka saling berebut bingkai screen supaya bisa mencoba hal yang baru ini. Tentu saja percobaan pertama membuat kertas daur ulang tak selalu berhasil, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketelitian. Mari coba lagi sampai puas dengan hasil yang dicapai.
Di bagian akhir dari kegiatan ini, salah seorang peserta dari Paroki St. Fransiskus Asisi APO, Ies Piran, mengharapkan bahwa kegiatan serupa sebaiknya dilaksanakan di sekolah-sekolah untuk anak-anak, juga untuk ibu-ibu rumah tangga. Fredy, peserta lainnya, mengharapkan supaya kegiatan serupa bisa dilanjutkan pada waktu-waktu mendatang. Direktur SKP Keuskupan Jayapura, Br. J. Budi Hernawan OFM, dalam sambutan penutupnya menyampaikan terima kasih atas keterlibatan teman-teman muda, SKP akan siap membantu teman-teman dalam kegiatan aksi olah sampah baik dalam bentuk peralatan dan tenaga. Br. Budi juga mengharapkan supaya para peserta tidak segan-segan untuk bertanya bila mengalami hambatan. Kegiatan ini kemudian diakhiri dengan doa(*).
|
"Kami Mama-Mama Asli Papua Butuh Pasar yang Layak di Tengah Kota"
Jayapura, 17 Oktober 2008. Sekitar lima ratusan mama-mama pedagang asli Papua yang selama ini berjualan di depan Galael, Ampera dan pasar pagi Paldam serta sejumlah mahasiswa Uncen dan simpatisan melakukan demo damai ke Kantor Wali Kota Jayapura (10/10). Sebelum berangkat ke Kantor Wali Kota massa berkumpul di Taman Imbi Jayapura sejak pk. 07.30 WP dan melakukan orasi-orasi.
Pada pk. 08.25 WP sejumlah mahasiswa Uncen dan simpatisan tiba di Taman Imbi dengan membawa spanduk dan pamflet. Pk. 09.05 massa bergerak menuju Kantor Wali Kota Jayapura di Entrop dengan menggunakan 6 bus DAMRI. Di sana massa membentangkan berbagai tulisan di spanduk sambil melakukan orasi. Tuntutan yang diajukan massa adalah: (1) "Wali Kota Jayapura (Mr. Kambu) Segera Ajukan Proposal Pembangunan Pasar di Jalan Percetakan", (2) "Kami Mama-Mama Asli Papua Butuh Pasar yang Layak di Tengah Kota". (3) "Jika Otsus Diberikan untuk Orang Asli Papua Mana Realisasinya?", (4)"Bas-Alex, John Ibo, Mr. Kambu, mana janjimu?", (5) "Boikot Pilkada kalau Pasar Pribumi Belum Jadi". (6) "Kembalikan Hak-hak Kami Pedagang Asli Papua", (7) "Ingat Kambu, Olah raga Tidak Membawa Kemakmuran !!!" (8) "Bas-Alex, John Ibo, Mr. Kambu Mundur !", (9) "Mr. Kambu Ko Stop Tipu Rakyat Kecil". Selain itu mahasiswa juga langsung menggelar orasi. "Mama-mama kami mahasiswa tidak lupa, kami datang untuk mendukung mama-mama supaya pasar untuk mama-mama segera dibangun. Kami bisa makan dan sekolah karena mama-mama jualan dan biayai kami. Kami mau mama-mama punya pasar yang layak untuk berjualan", tegas Esik Weya dari (FNMPP) Uncen. Sementara itu, Petrus Kayoi dari UKM DEHALING Uncen dalam orasinya mempertanyakan sikap Pemerintah Kota (Pemkot) yang tidak tanggap terhadap kebutuhan mama-mama Papua akan perlunya pasar. "Otsus Papua untuk siapa? Mama-mama Papua minta dibangunkan pasar supaya mereka bisa berjualan dengan layak, mengapa tidak ditanggapi? Bas-Alex, John Ibo dan Mr. Kambu, kamu dengar mama-mama punya keluhan ini. Mr. Kambu ko jangan urus Persipura saja, ingat mama-mama juga", tegas Kayoi. Koordinator Lapangan Robertus Jitmau dari Unit Penguatan Basis (UPB) Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura melakukan orasi yang intinya mempertanyakan sikap Wali Kota yang sangat lamban menanggapi permohonan mama-mama untuk mendirikan pasar. "Dana Otsus bermiliar-miliaran dipakai untuk apa? Pendapatan daerah digunakan untuk apa? Mr. Kambu, ko hebat urus Persipura, tapi lebih hebat lagi kalau ko bangun mama-mama punya pasar untuk berjualan", tegas Jitmau. 
Setelah menunggu beberapa saat Sekda Kota Jayapura, Drs. Yesaya Udam mengatakan menurut aturan setiap orang yang datang dan hendak bertemu Wali Kota harus melalui perwakilan. "Kami minta 25 orang mama-mama untuk bertemu dengan Bapak Wali Kota", kata Sekda. Hal ini membuat massa marah, berteriak dan hendak bergerak menuju Sekda. Menyikapi hal ini, Pimpin Demo yang juga Koordinator Unit UPB SKP Keuskupan Jayapura, Br. Rudolf Kambayong OFM turun tangan menenangkan massa. Akhirnya massa tenang dan melalui lobi yang dilakukan, Wali Kota Jayapura M.R. Kambu bersedia untuk turun menemui massa.
Di hadapan Wali Kota Jayapura M.R. Kambu, Pimpinan Demo Br. Rudolf Kambayong OFM menjelaskan secara singkat perjuangan mama-mama SKP Keuskupan Jayapura dalam memperjuangkan pembangunan pasar bagi mama-mama pedagang asli Papua. "Perjuangan mama-mama untuk mendapatkan pasar yang layak sudah dimulai sejak 2004. Bahkan hal ini mendapat perhatian dari Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Dr. Leo Laba Ladjar OFM yang pernah menulis surat terbuka. Selain itu, ada berbagai upaya yang telah dilakukan oleh mama-mama bersama SKP antara lain pembicaraan dengan staf ahli Setda Provinsi Papua, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Papua dan DPR Papua. Semua hal telah disiapkan sketsa bangunan, rencana anggaran, lahan sudah ada bahkan Dinas PU Provinsi telah siap mengerjakannya. Sekarang kami hanya butuh dana Rp 4 miliar. Kalau Pemerintah Kota (Pemkot) tidak ada uang, tolong segera ajukan proposal ke Pemerintah Provinsi (Pemrov) Papua", tegas Br. Rudolf. Sementara itu, dari pihak mama-mama yang diwakili oleh Mama Yuliana Pigai, Lina Monim dan Amelia Kadepa sama-sama memiliki satu permintaan saja "Bapak Wali Kota, tolong bangun kami punya pasar". Bahkan Mama Amelia Kadepa maju dan membacakan tulisan yang tertera pada pamflet yang berbunyi: "Mr. Kambu Mana janjimu?". Ia menambahkan "Saya masih ingat tahun 2004 di Gedung Kesenian, Bapa bilang mau bangun pasar untuk kami mama-mama pedagang asli Papua, jadi kami datang tagih Bapak punya janji itu", kata Amelia Kadepa. 
Setelah mendengarkan penjelasan dari Br. Rudolf dan perwakilan mama-mama Wali Kota Jayapura, M.R. Kambu mengatakan bahwa pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura tidak memiliki dana dan tempat untuk pembangunan pasar bagi mama-mama. Dana yang ada sudah dialokasikan ke semua pos pembangunan, termasuk pembangunan Pasar di Entrop dan Dok IX. "Mama-mama, tadi saya sudah dengar penjelasan dari pimpinan demo dan perwakilan mama-mama, dalam minggu ini saya tugaskan Bapak Frans Pekey untuk menyiapkan proposal yang akan kami ajukan ke Pemerintah Provinsi (Pemrov ) Papua. Pemerintah Kota Jayapura tidak memiliki aset tanah dan dana yang cukup, jadi kita minta ke Provinsi. Mama-mama kita juga harus berdoa supaya Tuhan memberkati kita punya perjuangan ini", kata M.R. Kambu. Mengakhiri penjelasannya, Wali Kota Jayapura, M.R. Kambu meminta Br. Rudolf memimpin doa dan usai berdoa bersama massa bersalaman dengan Bapak Wali Kota.
Demo berakhir pada pk.12.00 WP, selanjutnya massa makan bersama di Halaman Kantor Wali Kota. Setelah makan massa yang berdiam di Jayapura diantar kembali ke Taman Imbi; sedangkan yang ke daerah Abepura dan sekitarnya langsung pulang ke Abepura.
Upaya mama-mama pedagang asli Papua untuk mendapatkan pasar yang layak untuk berjualan di tengah Kota Jayapura telah dilakukan sejak tahun 2004. Mama-mama yang didampingi oleh Tim SKP Keuskupan Jayapura telah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan pihak Pemerintah Kota Jayapura, tetapi hingga kini pasar modern untuk mereka belum dibangun (*)
|
Eks Pengungsi di Batom memprihatinkan
Jayapura, 10 Oktober 2008. Tim SKP yang terdiri atas Sdri. Rosa Moiwend, Sdr. Herman Katmo, Sdr. Petrus Supardi OFM, dan Tim Medis Rumah Sakit Dian Harapan Waena, dr. Bony, Mantri Frans dan Mantri Yulius melakukan kunjungan dan pengobatan selama 4-9 Oktober 2008 di Distrik Batom. Turut mendampingi tim ini ialah Pastor Hilarius Pekey Pr, Pastor Paroki Oklip. Kunjungan kali ini merupakan kunjungan yang kedua, sebelumnya pernah dilakukan kunjungan dan pengobatan pada 16-21 Mei 2007.
Distrik Batom terletak di Selatan Kabupaten Pegunungan Bintang yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guinea (PNG), hanya dipisahkan oleh Sungai Sepik. Transportasi menuju Distrik Batom hanya dapat dijangkau melalui jalan udara. Perjalanan yang ditempuh mencapai 45-50 menit menggunakan pesawat AMA jenis Carravan dan Pilatus Porter serta Merpati jenis Twinotter.
Masyarakat Batom terdiri dari orang asli Batom yang dikenal dengan sebutan orang Asbe dan masyarakat repatrian yang dulu mengungsi ke PNG. Repatrian sebagian besar berasal dari daerah Pegunungan Bintang. Mereka mengungsi ke Yapsi, Kabupaten Telefomin, Provinsi Sandaun Papua New Guinea (PNG) karena situasi politik dan keamanan yang tidak memadai. Kekecewaan masyarakat terhadap PEPERA 1969 yang memaksakan Papua Barat bergabung dengan NKRI merupakan alasan utama mereka mengungsi. Selain itu, pihak militer melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka dengan memperkosa ibu-ibu dan anak-anak gadis, membakar rumah warga dan membunuh ternak peliharaan yang membuat mereka trauma. Untuk menutupi rasa sakit hati, selain mengungsi ke Yapsi, mereka juga pada 9 Juli 1990 menyerang Pos Kostrad 751 di Batom.
Para pengungsi yang menyeberang ke PNG sejak 1969 berangsur-angsur kembali ke Papua, sebagian dari mereka tinggal di Distrik Batom yang terdiri atas 7 Kampung yaitu Batom II, Muara, Baser, Oksip, Okyako, Okhik, dan Okbem. Sebagian besar tinggal di Batom II. Hingga saat ini kondisi mereka sangat memprihatinkan. Mereka tinggal di rumah yang sangat sempit dengan 3-4 kepala keluarga dalam satu rumah. Mereka juga tidak memiliki sarana air bersih, dan MCK. Sebagai masyarakat peramu, mereka tidak memiliki kebun. Mereka mencari makan dengan mengambil langsung dari alam (sagu, ikan, daging).
Masalah kesehatan sangat memprihatinkan. Tidak ada dokter tetap yang ada adalah satu orang dokter PTT itu pun masa kontraknya telah habis. Saat ini hanya ada 2 orang mantri dan 2 suster perawat yang aktif dibantu beberapa kader orang asli Batom. Masalah lain ialah pendidikan yang tidak memiliki mutu. "Guru aktif (PNS) yang berjumlah 7 orang tidak mengajar. Mereka ini tinggal di kota dan hanya datang menjelang ujian semester. Mereka datang memberi ujian dan menaikkan semua siswa dan kembali ke kota. Hal ini menyebabkan ada siswa yang sudah duduk di kelas V SD, namun belum bisa membaca dan menulis. Lebih tragis adalah ulah oknum guru yang membawa lari uang pembangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebesar Rp 85jt hingga kini tidak kembali ke Batom", kata Linus Kalaka, seorang Guru Bantu di SD-SMP Batom yang juga seorang pewarta di stasi Batom II.
Gambaran situasi di atas semakin lengkap dengan banyaknya pasien yang hadir di Balai Puskesmas Batom untuk berobat. Tim Kesehatan yang terdiri atas dr. Bonifasius Mantri Frans, Mantri Yulius dan beberapa petugas kesehatan Puskesmas Distrik Batom penuh antusias melayani pasien yang datang selama tiga hari berturut-turut (5-8 Oktober). Jumlah pasien yang datang dan diobati berjumlah 300 orang terdiri atas anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak. Mereka menderita penyakit kulit, malaria klinis dan ISPA serta beberapa penyakit lain.
Situasi terakhir di Batom adalah sedang dilakukan pembangunan secara besar-besaran. Bangunan yang telah selesai dikerjakan ialah Unit Barak Pelintas Batas dan Kantor Imigrasi Distrik Batom serta Puskesmas Pembantu (Pustu) Batom II. Bangunan ini belum berpenghuni dan mulai ditumbuhi rumput dan pepohonan yang semakin tinggi. Proyek pembangunan yang sedang dikerjakan antara lain pembangunan gedung sekolah, gedung perkantoran, perumahan guru, perumahan penduduk, dan kolam ikan. Kepala Distrik Batom Iriando Dien, SH mengatakan pembangunan ini dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN. "Di Batom sedang dilakukan pembangunan secara besar-besaran yang dibiayai oleh pemerintah pusat", kata Kepala Distrik Batom, Iriando Dien, SH.
Menurut rencana seluruh proyek nasional pembangunan infrastruktur di Distrik Batom akan diresmikan pada 31 Desember 2008. Hal ini menyebabkan konsentrasi masyarakat dialihkan untuk membantu penyelesaian pembangunan. Mereka memikul papan dan balok dari hutan, mengangkat pasir dan batu dari kali dan membuat kolam ikan dengan ukuran 25x25m. Sementara para tukang yang didatangkan dari Jayapura berjumlah 182 orang. Kerja yang sangat berat dan tergesa-gesa ini mengakibatkan salah seorang katekis yakni Bapak Simon Sipka menderita sakit yang cukup parah dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Dian Harapan Waena. Sementara warga lain menderita kekurangan makanan karena setiap hari harus bekerja di proyek dan tidak bisa mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, dampak dari proyek ini ialah Gedung Gereja Katolik Stasi Batom II akan digusur karena berada di lokasi proyek, tetapi hal ini akan dibicarakan lagi dengan Pastor Paroki Oklip, Pastor Hilarius Pekey Pr. Para pengawas proyek pembangunan di Batom ialah Kepala Distrik Batom, Petugas PPL Batom, Tokoh Masyarakat (Bapak Linus Kalaka) dan Komandan Kopassus Batom.
Pembangunan fisik di Distrik Batom sedang berjalan. Proyek yang menelan miliaran rupiah sedang dikerjakan. Hal pokok yang dilupakan ialah pembinaan dan pendampingan manusia Batom melalui jalur pendidikan, kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Ada bangunan yang megah, tetapi kalau tidak ada pelayan yang dengan tulus mengabdikan diri untuk orang Batom, bukankah bangunan-bangunan itu mubasir? Pegawai distrik, guru, dan mantri tinggal di kota, siapa yang akan tinggal di rumah megah yang dibangun di Batom? Siapa yang akan berdiri mengajar di depan kelas yang baru dibangun? Siapa yang akan melayani masyarakat yang sakit di Puskesmas Batom? (*).
|
Merayakan hari damai? Mari Goyang regae!
Jayapura, 24 September 2008. Begitulah Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura merayakan hari Damai Se-Dunia 21 September dengan menggelar pentas musik regae di halaman Bikda, Jl. Percetakan, Jayapura, (20/9), yang dihentakkan oleh sembilan grup band. Dalam kerjasama dengan Komunitas Rasta Kribo Papua dan FOKER LSM Papua, SKP menggelar pentas musik yang menghipnotis ratusan orang muda untuk mengekspresikan diri dalam tari, lagu, mob, dan puisi dengan tema "Papua Tanpa Penyiksaan, Menuju Papua Baru Penuh Damai".
Musik mulai membahana di jantung Kota Jayapura sejak pk. 18.00 WP dan menarik perhatian kaum muda di sekeliling kota. Seiring dengan berjalannya waktu, massa makin menikmati alunan musik dan tarian yang diselingi mop-mop segar. Menurut Br. J. Budi Hernawan OFM yang membuka acara, "Membangun damai tidak bisa dipisahkan dari unsur mengekspresikan identitas. Dengan musik, identitas orang Papua dinyatakan dan terus disuarakan. Orang Papua harus menghargai identitasnya dan mengungkapkannya. Itulah bagian dari upaya membangun jatidiri. Hari Damai merupakan peringatan internasional yang ditetapkan oleh PBB sejak 1981 untuk memerangi segala bentuk kekerasan di muka bumi. Karena itu SKP bersama FOKER, mengambil tema Papua tanpa penyiksaan". 
Sementara itu Septer Manufandu, Sekretaris Eksekutif FOKER LSM Papua, menekankan, "Kita harus melawan budaya lupa yang membuat kita melupakan identitas kita dan apa yang terjadi di masa lampau. Kita harus berani mengekspresikan diri melalui lagu-lagu kita sendiri".
Acara yang meriah diselingi dengan pesan-pesan damai oleh Ketua Komunitas Rasta Kribo Papua dan disambut dengan alunan suara merdu dari para pemusik muda Papua. Massa makin bersemangat saat Kelompok Nunggik Band dari Wamena tampil ke pentas yang langsung menghipnotis ratusan kaum muda yang segera berjoget ala pesek.
SKP Jayapura merayakan hari damai setiap tahun dengan berbagai macam kegiatan. Tahun ini SKP merayakan dengan dialog interaktif di TV Mandiri Papua bertema Pelanggaran HAM dan Seminar tentang Dampak Pemekaran Kabupaten Jayawijaya terhadap Manusia dan Alam di Wamena. Semua kegiatan merupakan perwujudan setiap aspek dari sembilan aspek membangun budaya damai (*).
|
Mama-mama Papua tuntut Pasar
Jayapura, 20 September 2008. Sekitar seratus orang mama-mama pedagang asli Papua yang didampingi oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan didukung sekitar 50 orang mahasiswa di Jayapura mengadakan aksi demo damai ke kantor DPR Papua pada Kamis (18/9) yang lalu. Pengunjung rasa menuntut pembangunan pasar bagi mama-mama Papua yang sudah dijanjikan oleh Pemkot Jayapura dan Pemprov Papua sejak 2004.
Aksi unjuk rasa ini dilakukan dengan long-march dari samping toko Gelael, Jl. Irian, Jayapura, sekitar pk. 10.00 WP melalui Jl. Percetakan, Jl. Sam Ratulangi dan berakhir di kantor DPRP. Sesampai di halaman kantor DPRP, mama Yuliana Pekei langsung mengadakan orasi menuntut agar Pemerintah membangun pasar bagi mama-mama di tengah Kota Jayapura yang sudah dijanjikan sejak tahun 2004. Orasi disambut dengan tepuk tangan oleh mama-mama lainnya.
Tak hanya itu, mereka langsung menggelar dagangan mereka persis di muka pintu masuk kantor DPRP dan terus berorasi menuntut agar Ketua DPRP, John Ibo, turun menemui mereka. Setelah menunggu sekitar setengah jam, tiga orang anggota DPRP perempuan, Miryam Ambolon, Henny Arobaya, dan Jubelina Watopa datang menemui mereka tetapi langsung ditolak mentah-mentah oleh mama-mama yang dimotori oleh Amelia Kadepa. Pada saat bersamaan kelompok mahasiswa dari Uncen dan Perguruan Tinggi lainnya datang bergabung dengan membawa spanduk bertuliskan (1). Boikot Pilkada kalau pasar Pribumi belum ada; (2). Mana janjimu !!! katanya bangun pasar untuk kami; (3). Bicara uang No 1, kalau bicara nasip rakyat nol, apa fungsinya gubernur, legislatif, boikot Pemilu; (4). APBD-ABT hanya kepentingan Bas, Aleks dan kroni-kroninya; (5). Hai dimanakah nurani pejabat elit politik, apakah engkau buta sehingga tidak perhatikan mamamu yang sedang ditimpah masalah; (6). Kami mama Papua asli Papua butuh pasar yang layak ditengah kota Jayapura; (7). Jika Otsus diberikan buat orang Papua, mana realisasinya?; (8). Bas-Aleks- John Ibo dan MR Kambu mana janjimu? Mereka langsung bergabung dan berorasi bersama.
Jubelina Watopa, Wakil Ketua Komisi B DPRP, mengatakan bahwa Ketua DPRP sedang sakit dan tidak bisa menemui mama-mama sehingga ketiga anggota DPRP itulah yang sedianya menanggapi aspirasi mama-mama. Serentak mama-mama kembali berteriak menolak mereka dan menuntut Ketua DPRP harus dihadirkan. Massa terus berorasi dan kemudian Ketua Komisi F, Weinand Watori, turun menemui massa didampingi tiga anggota DPRP perempuan dan dua lainnya, yakni Yosephina Pigay dan Yani. Ketua Komisi F kembali menjelaskan ketidakhadiran Ketua DPRP dan mengatakan bahwa aspirasi mama-mama akan diperhatikan. "Lebih baik kita bicara di dalam dan ada perwakilan dari mama-mama, mahasiswa, Gereja supaya barang ini bisa ditangani baik", kata Weinand.
Tetapi mama-mama tetap bersikeras pada pendiriannya untuk meminta kehadiran Ketua DPRP sehingga para anggota DPRP kembali masuk ke dalam kantor. Mama-mama dan mahasiswa tetap berorasi sambil menggelar dagangan mereka disaksikan oleh belasan wartawan cetak dan elektronik serta kalangan intel.
Sekitar pk. 14.00, Ketua III DPRP Papua, Paskalis Kossy, muncul didampingi oleh Ketua Komisi F menemui massa. Paskalis mengatakan, "Kami sudah dengar aspirasi mama-mama dan akan dimasukkan dalam pembahasan APBD 2009 yang dimulai bulan Oktober. Jadi mama-mama tidak perlu kuatir. Pasar akan dianggarkan sedangkan lokasi dll. adalah kewenangan walikota dan Pemerintah Provinsi". Mendengar ini mama-mama tetap tidak puas dan menuntut agar pasar dibangun tahun 2008 ini. "Kami tidak hitung bulan atau tahun. Itu tidak. Kami mau dengar tanggal berapa, hari apa pasar dibangun. Itu saja", demikian penegasan Amelia Kadepa. Setelah berunding alot, akhirnya mama-mama bersepakat untuk kembali menangih janji DPRP pada bulan Oktober mendatang dan kemudian membubarkan diri sekitar pk. 14.30.
Mama-mama ini adalah pedagang asli Papua yang sudah mengalami penggusuran sejak Pasar Ampera di Jayapura ditutup oleh Pemerintah Kota. Mereka dipindahkan ke Ruko Pasifik Jayapura saat Pasar Youtefa di Kotaraja dibangun oleh Walikota, M.R. Kambu, tahun 2004. Saat pasar sementara di Ruko Pasifik ditutup berdasarkan Surat Instruksi Walikota No. 1/2004 tentang Penertiban dan Penutupan Pasar Inpres Abepura dan Tempat Usaha Sementara Pedagang Kaki Lima di Lokasi Reklamasi Jayapura Pasifik Permai, mereka dipaksa pindah ke Pasar baru Youtefa tetapi semua tempat sudah dikuasai pendatang sehingga akhirnya mereka berjualan kembali di Jl. Matahari dan depan Gelael Jayapura. Pada 6 September 2004, mereka mengalami penggusuran paksa oleh Dinas Trantip Kota Jayapura dengan penyemprotan air pemadam kebakaran dan pengerahan aparat kepolisian dan TNI. Penggusuran ini mendapatkan perlawanan dari mama-mama sehingga mereka terus bertahan di dua lokasi tersebut didampingi oleh SKP Jayapura sejak 2005 hingga sekarang (*).
|
Dewan Adat Papua Tuntut Pengungkapan Kasus Pembunuhan Opinus Tabuni
Jayapura, 19 September 2008. Dewan Adat Papua menggelar demo damai (17/9) ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang diikuti ribuan massa yang dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut didampingi oleh Ketua Dewan Adat Lembah Balim, Lemok Mabel, Kepala Pemerintahan Adat, Fadal Al Hamid, dan Sekretaris DAP, Leo Imbiri. Selain itu, turut mendampingi Pimpinan DAP adalah penasihat hukum kasus penembakan di Sinapup, Wamena antara lain Iwan Niode, SH dan Latifah Anum Siregar SH, dan juga Sekjend Presidium Dewan Adat Papua, Thaha Alhamid, beserta ibu.
Demonstrasi yang melibatkan ribuan massa yang terdiri dari masyarakat umum, aktivis mahasiswa dan para aktivis di Papua dimulai dari Kantor DAP Waena, sekitar pk. 09.30 WP dengan long march sampai di Kantor DPR Papua. Dalam perjalannya massa sempat berniat masuk ke Polda Papua tetapi aparat Polda langsung menutup pintu pagar. Sekitar pk. 13.30 WP massa tiba di halaman kantor DPRP dan langsung menggelar orasi dan pekik, "Papua!" Yang disambut massa dengan teriakan, "Merdeka". Buchtar Tabuni dan Markus Haluk dari AMPTPI dan Fadal Alhamid memimpin orasi dengan menegaskan, "Pembunuhan Opinus Tabuni merupakan pembunuhan terhadap seluruh masyarakat Papua. Masyarakat Papua dinilai melakukan perbuatan makar, karena itu dibunuh".
Pokok perjuangan mencari keadilan yang terungkap dalam demo kali ini dirangkum dalam sebuah pertanyaan "Mengapa rakyat Papua dibunuh saat merayakan Hari Internasional Bangsa Pribumi Sedunia ?" Pertanyaan ini melahirkan empat pernyataan sikap Dewan Adat Papua yang tertera dalam naskah yang dibacakan Fadal Al Hamid antara lain 1) Penembakan terhadap Opinus Tabuni merupakan kejahatan kemanusiaan yang merendahkan martabat manusia yang mulia di hadapan Tuhan; 2) Penancapan Bendera Merah Putih, PBB, SOS dan Bintang Kejora tidak menjadi alasan untuk membunuh rakyat Papua karena merupakan ekpresi protes atas ketidakadilan dan kemiskinan; 3) Tewasnya Opinus bukan peristiwa adat melainkan kejahatan kemanusiaan yang berkaitan dengan politik, maka perlu diselesaikan dalam jalur hukum dan politik dan pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab. 4) Peristiwa pembakan Opinus Tabuni harus menjadi peristiwa terakhir.
Keempat pernyataan sikap di atas bermuara pada dua tuntutan hakiki yakni pertama, Kapolri harus jujur mengungkapkan siapa pelaku penembakan Opinus Tabuni di Lapangan Sinapup, Wamena pada saat perayaan Hari Internasional Bangsa Pribumi Se-dunia, 9 Agustus yang lalu; kedua, menghentikan pemeriksaan terhadap Pimpinan Dewan Adat Papua.
Suasana demo ricuh karena tuntutan massa untuk bertemu langsung dengan Ketua DPR Papua, John Ibo dipersulit. Wakil Ketua III DPRP Paskalis Kossy yang turun hendak menjumpai massa mendapat protes dan tidak diterima. Akhirnya, karena desakan massa semakin kuat, maka John Ibo yang sedang memimpin sidang pembahasan Perubahan Anggaran pun turun menemui massa.
Para pendemo yang tidak sabar lagi langsung menuntut Ketua DPRP menghadirkan Kapolda Papua, karena peristiwa penembakan Opinus Tabuni merupakan tanggung jawab Polda Papua. Setelah menghubungi Kapolda Papua Irjen Pol. FX. Bagus Eko Danto, ternyata Kapolda sedang berada di luar Papua. "Saya menyampaikan kepada saudara/i bahwa saya telah menghubungi Kapolda, tetapi beliau sedang berada di luar Papua. Beliau berjanji bahwa setelah kembali ke Papua, beliau akan mengundang Dewan Adat Papua untuk membicarakan persoalan ini. Beliau juga minta supaya tuntutan kepada pihak Polda nanti diserahkan saat pertemuan dengan beliau", kata John Ibo.
Massa pun sepakat untuk menyerahkan tuntutan kepada pihak DPR Papua saja. Naskah ditandatangani oleh Pimpinan Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut. Proses penandatanganan naskah yang dilakukan di atas mobil yang memuat sound system tidak diterima oleh massa yang hadir. Akibatnya saling tuding di antara massa pendemo dan Ketua DPRP John Ibo pun tak terelakan. Teriak massa penuh emosi "Mengapa tandatangan di atas mobil? John Ibo..., tidak ada meja lagi-kah?". Hal ini membuat Ketua DPRP, John Ibo marah dan menunjuk para pendemo yang menyebut namanya. "Siapa suruh kamu tandatangan di atas mobil? Saya juga orang Papua!", tegas Ibo penuh emosi.
Ketegangan massa pendemo mereda setelah Ketua DAP Forkorus Yaboisembut menenangkan massa. Selanjutnya, Ketua DPR Papua sebelum menerima tuntutan massa memberikan sambutan singkat, "Saya atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan seluruh rakyat Papua menerima aspirasi dan tuntutan saudara/i. Saya adalah bagian dari rakyat Papua. Saya mendukung perjuangan saudara/i, saya akan memfasilitasi saudara/i untuk bertemu dengan pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini". Setelah itu dilakukan penyerahan naskah pernyataan sikap dari Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua John Ibo didampingi Wakil Ketua I, Komarudin Watubun, Wakil Ketua II, Jop Kogoya, dan Wakil Ketua III, Paskalis Kossy.
Setelah penyerahan naskah tuntutan, Buchtar Tabuni dari AMPTPI membakar PP 77/2007. "PP 77/2007 tentang lambang daerah dibuat untuk membunuh rakyat Papua, karena itu saya membakar PP ini, dan mulai saat ini PP 77 tidak berlaku lagi di Tanah Papua", tegas Tabuni. Pembakaran PP 77/2007 mengakhiri rangkaian demo dan massa pun membubarkan diri pada sekitar pk. 15.30 WP. Selanjutnya atas bantuan John Ibo massa diantar ke tempat masing-masing menggunakan truk, bus dan taksi.
Opinus Tabuni (49 tahun), petani asal Kampung Pyramid, ditembak mati di Lapangan Sinapup, Wamena, pada 9 Agustus 2008 saat Peringatan Hari Masyarakat Pribumi Internasional(*)
|
173 orang meninggal di Kabupaten Dogiyai
Jayapura, 30 Juli 2008. 173 orang meninggal di Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, dan di Distrik Obano, Kabupaten Paniai akibat muntaber dan kolera sejak April 2008. Demikian siaran pers oleh Pdt. Benny Giay dari Biro Keadilan dan Perdamaian Sinode KINGMI, Br. J. Budi Hernawan OFM dari SKP Keuskupan Jayapura, Fr. Saul Wanimbo dari SKP Keuskupan Timika, dan Pdt. Dora Balubun dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua yang digelar dalam jumpa pers di Kantor Keuskupan Jayapura pada 28 Juli 2008 yang lalu.
Keempat lembaga advokasi Gereja-gereja di Tanah Papua tersebut mengungkapkan bahwa dari data yang dikumpulkan oleh KPKC Sinode KINGMI, hingga tanggal 21 Juli, wabah ini telah menelan nyawa warga sebanyak 173 orang, baik dewasa maupun anak-anak. Wabah telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu, dan 2 kampung dari 1 distrik di Kabupaten Paniai. Lembah Kamuu sekarang termasuk dalam Kabupaten Dogiai, merupakan pemekaran dari Kabupaten Nabire yang baru saja diresmikan oleh Gubernur Papua awal Juli ini. Namun demikian, belum ada langkah nyata dari Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire maupun Dinas Kesehatan Provinsi untuk menangani wabah tersebut.
Pdt. Benny Giay yang membacakan siaran pers mendesak Gubernur, DPRP, MRP agar [1] mengambil langkah segera dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang sedang menderita; [2] melakukan upaya pencegahan sesegera mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lainnya; [3] melakukan penyelidikan mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera ini dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang; [4] melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut; [5] tidak menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu seperti diperintahkan oleh pasal 59 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus dan sistem ketahanan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik (pasal 60 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus).
Desakan itu juga didasari perkembangan situasi yang makin genting karena sebagian penduduk asli telah terlibat dalam tindak perusakan terhadap sejumlah rumah warga pendatang. Karenanya keempat lembaga menyerukan kepada masyarakat korban agar [1] agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus air sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan sekitar; [2] bersikap kritis terhadap segala informasi yang tersebar sehingga tidak terpancing untuk melakukan tindak anarkis; [3] melaporkan setiap informasi yang dimiliki kepada Pemimpin Agama setempat dan aparat pemerintah serta kepolisian setempat.
Pihak Gereja Katolik Keuskupan Timika sendiri telah mengirimkan tim medis tetapi tidak mampu menangani masalah yang ada sementara kematian terus terjadi. Medicine Sans Frontieres dan Oxfam dikabarkan telah mengadakan intervensi medis pada bulan Mei 2008 dan melaporkannya kepada Dinkes Kabupaten Nabire, Dinkes Provinsi Papua dan Depkes di Jakarta. Namun demikian, "Kematian yang terus berjatuhan dan lambatnya tindakan pemerintah telah membuka ruang penafsiran bagi masyarakat bahwa telah terjadi pembiaran" demikian ditegaskan oleh P. Neles Tebay pr, Vikjen Keuskupan Jayapura yang hadir dalam kesempatan tersebut.
Depkes dalam laporannya 15 Mei 2008 mengakui terjadinya KLB Diare di Moanemani, Kabupaten Nabire, dan di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, bersamaan dengan KLB meningitis di Bilogai, Kabupaten Moanemani, dan KLB keracunan pangan di Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura. Sementara itu pemberitaan Medicine Sans Frontieres, Juni 2008 menyebutkan epidemi yang terjadi secara serentak di Papua. MSF juga menyatakan bahwa status kesehatan Papua merupakan yang terendah di Indonesia.(*)
|
Lanjutan Latihan Pembukuan Dasar Bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua
Jayapura, 26 Juli 2008. Setelah sebelumnya (15/6), mengadakan pelatihan pembukuan dasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua. Pada hari minggu (20/7), bertempat di Balai Pertemuan Gereja St Fransiskus, APO, SKP Keuskupan Jayapura kembali mengadakan pelatihan pembukuan dasar lanjutan yang kedua kalinya bagi Mama-Mama. Walau lambat dari waktu seharusnya, pelatihan ini berjalan baik dan berlangsung dari pukul 14.30-15.30 WIP dan dihadiri oleh 39 orang Mama-Mama.
Sebagai suatu rangkaian kegiatan pendampingan bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang tersebar di pusat Kota Jayapura terutama di depan Gelael Mall, pinggir pertokoan Jln Irian, depan STO Telkom dan Bank Papua, dan Pasar Ampera. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih praktis mengenai pegelolaan keuangan harian melalui praktek pembuatan jurnal, mengingat pelatihan sebelumnya hanya berupa contoh pembuatan jurnal tanpa disertai praktik. Selain itu model pelatihan dengan praktek ini dimaksudkan agar Mama-Mama mempunyai kemampuan untuk mengelola keuangan hariannya secara nyata. Juga menyangkut bagaimana Mama-Mama mengatur pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan keluarga dan alokasi keuntungan sehari-hari dari hasil jualan untuk modal berjualan selanjutnya.
Seperti pelatihan sebelumnya pelatihan ini masih ditangani oleh Bpk. Untung Dien, Ekonom SKP yang sebelumnya mempunyai pengalaman bekerja di BPR Irian Sentosa dan menangani kredit usaha mikro yang berhubungan langsung dengan pedagang kecil seperti Mama-Mama.
Melalui contoh pengeluaran dan pendapatan sehari-hari yang sudah diurutkan dalam lembaran soal seperti, pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga, pendapatan dari hasil jualan, pengeluaran untuk ongkos taksi, dan belanja kebutuhan jualan serta beberapa item pengeluaran dan pendapatan lainnya, Mama-Mama lalu diajarkan tentang cara membuat kolom jurnal dan mengisi kolom-kolom tersebut. Selain itu Mama-Mama diajari bagaimana menjumlahkan transaksi per hari atau per bulan saat tutu buku hingga bisa diketahui rata-rata penerimaan dan pengeluaran pada hari yang bersangkutan dan sisa jumlah uang yang dimiliki pada hari yang sama. Termasuk hasil keseluruhan transaksi saat tutup buku bulanan.
Menggunakan buku dan alat tulis yang dibagikan, Mama-Mama secara cermat mengikuti dan mencatat setiap contoh yang diterangkan. Mereka yang kurang mengerti dibimbing secara perlahan-lahan untuk mengerjakan soal yang dibahas. Juga beberapa pertanyaan dari Mama-Mama yang dijelaskan secara baik untuk memudahkan Mama-Mama bisa mencernanya. Terlihat ada sebagian Mama-Mama yang cepat mengikuti dan menguasai materi yang diajarkan. Karena ketika ditanya tentang jumlah sisa kesuluhan transaksi, baik per hari maupun pada tutup buku bulanan, mereka bisa cepat merespon dengan menjawab secara akurat.
Pelatihan ini walau sangat membantu sebagian Mama-Mama, namun kurang membantu bagi Mama-Mama yang tidak bisa baca tulis. Dalam perencanaan program, SKP melalui Unit Penguatan Basis telah menyusun rencana pelatihan khusus dengan teknik khusus bagi Mama-Mama ini. Dengan harapan, Mama-Mama yang tidak bisa baca tulis dapat memiliki pengetahuan yang sama dengan Mama-Mama yang bisa baca tulis. Pada pertemuan ini rencana tersebut disampaikan kepada Mama-Mama yang hadir agar mereka yang tidak bisa baca tulis, tidak berkecil hati.
Diakhir pelatihan, Pak Untung lalu memberikan soal kedua yang hampir mirip dengan soal pertama sebagai tugas untuk dikerjakan oleh Mama-Mama di rumah. Nantinya soal tersebut akan diperiksa lagi pada pertemuan berikut untuk melihat sampai sejauh mana seluruh Mama-Mama yang hadir memahami materi yang diajarkan.(*)
|
Perkebunan Sawit Rugikan Masyarakat Arso
Jayapura, 7 Juli 2008. Guna merayakan ultahnya ke-10 yang jatuh pada 1 Juli 2008, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura menggelar diskusi panel sehari dengan tema "Perkebunan Sawit dan Kesejahteraan Masyarakat Arso" (5/7) di Gedung Kesenian Imbi Jayapura. Berdasarkan penelitiannya, SKP berkesimpulan bahwa petani sawit khususnya masyarakat pribumi mengalami kerugian besar (kemunduran) dalam pelbagai bidang kehidupan (lingkungan, ekonomi, sosial budaya, hak ulayat dan keamanan) sejak hadirnya perkebunan sawit PTPN II Tanjung Morawa di Arso tahun 1982/1983.
Kesimpulan itu didasarkan pada hasil penelitian Tim SKP yang terdiri dari Br. Edy Rosariyanto, OFM, Yohanes Rusmanta dan P. John Jonga, Pr selama Mei-Juni 2008. Data diperoleh melalui wawancara terhadap beberapa penduduk di beberapa kampung yang berpenduduk masyarakat pribumi seperti Arso Kota, Kwimi, Workwana, Wembi dan desa-desa dengan penduduk didominasi oleh non pribumi seperti PIR I, II, V, Arso VII, Arso XII. Selain itu juga dikumpulkan data sekunder yang diperoleh dari laporan yang dikeluarkan perusahaan PTPN II Kebun Arso, instansi pemerintah dan dari pelbagai informasi di media massa.
Hadir sebagai penyanggah adalah Bupati Kabupaten Keerom, Bpk. Celsius Watae, Ketua DPR Kabupaten Keerom, Bpk. Kondrad Gusbager, MRP Provinsi Papua, Bpk. Maidepa, Ketua Dewan Adat Arso, Bpk. Longginus Fatagur, Pihak Perusahaan PTPN II Kebun Arso, Bpk. Yunus Malau, unsur PGGP Keerom, Pdt. Edy Togodly, dan Bpk. Y.S. Budiyanto, Akademisi dari UNIPA Manokwari.
Sekitar seratus dua puluhan orang dari berbagai unsur memenuhi Gedung Kesenian Papua di Taman Imbi sejak pk. 10.00 hingga pk. 16.00 WP. Mereka mewakili Dewan Adat Arso, petani sawit, perwakilan perempuan, pihak perusahaan PTPN II, dinas terkait dalam lingkungan Pemda Keerom, wakil dari lembaga keagamaan, LSM lingkungan di Jayapura, perguruan tinggi, komisi-komisi di Keuskupan Jayapura, wakil Pemerintah Propinsi Papua dan wartawan.
Perhelatan ini dibuka oleh P. Ferdinand Sahadun OFM sebagai Badan Pendiri SKP. Dalam sambutannya P. Ferdinand mengharapkan bahwa kita semua perlu melihat Arso (manusia dan segala isinya) sebagai berkat dari Tuhan untuk kita semua. Kita semua diharapkan dengan sabar dan terbuka mau mendengar hasil penelitian yang akan disampaikan dan dari situ kembali melihat persoalan yang ada di Arso sebagai pintu untuk rahmat.
Para peserta diskusi yang kebanyakan adalah petani sawit tegas-tegas mengatakan bahwa perkebunan sawit telah menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Arso karena persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Petani ingin keluar dari persoalan ini namun hampir tidak ada jalan keluar. Berbagai usaha telah dilakukan baik lobi di tingkat lokal maupun nasional dengan pelbagai pihak baik perusahaan maupun pemerintah namun selalu menemukan jalan buntu. Mereka dengan tegas mendesak agar ada aksi nyata dari pemerintah dan perusahaan untuk menangani masalah ini supaya kesengsaraan masyarakat khususnya petani pribumi tidak berlarut-larut.
Kegiatan ini dipandu oleh Bpk. Tomi Wakum dan Bpk. Lindon Pangkali yang telah berpengalaman dalam memantau kerusakan alam di Papua akibat pengembangan investasi perkebunan sawit di Papua. Bpk Tomi Wakum memandu bagian pertama dari diskusi dan Bpk. Lindon memandu bagian kedua dari diskusi. Bagian pertama diskusi berisi tanggapan dari ketujuh penyanggah terhadap laporan hasil penelitian. Pada bagian pertama ini sebagian besar penyanggah menyatakann salut terhadap hasil kerja tim peneliti yang sudah berhasil mengumpulkan data dan menyusunnya dalam sebuah laporan. Misalnya, Bupati mengharapkan bahwa penelitian ini perlu sampai kepada saran-saran konkret seperti tindakan apa yang perlu dibuat oleh pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Pada bagian kedua, diskusi panel menjadi semakin hangat karena sebagian besar peserta ingin berbicara dan mendengar langsung tanggapan baik dari Bpk Bupati maupun pihak perusahaan PTPN II. Namun sebagian besar tanggapan berisi kecaman dan tuntutan tegas supaya persoalan di Arso akibat kehadiran perkebunan sawit yang sudah berusia 25 tahun itu segera diselesaikan.
Pada bagian akhir dari kegiatan diskusi diserahkan cenderamata dari Pastor Dekan Dekenat Keerom dan Direktur SKP-KJ kepada para penyanggah sebagai kenang-kenangan Ulang Tahun SKP dan memperingati hari Lingkungan Hidup. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan penutupan oleh Br. Budi Hernawan, OFM sebagai Direktur SKP Keuskupan Jayapura. Br. Budi mengungkapkan bahwa kehadiran perkebunan kelapa sawit telah jelas membawa masyarakat Arso kepada kemunduran dan bukan kemajuan sebagaimana yang diharapkan. Pihak SKP telah berusaha untuk mengungkapkan kenyataan di lapangan terkait dengan perkebunan sawit dan mengharapkan agar masyarakat ke depan mengembangkan sikap kritis terhadap seluruh persoalan yang timbul. Bila masyarakat menghadapi persoalan, maka SKP siap membantu namun yang paling dekat yang dapat membantu adalah Tim Pastoral Dekenat Keerom di Arso karena lokasinya paling dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan SKP yang berada di Jayapura.(*)
|
Latihan Pembukuan Dasar Bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua
Jayapura, 24 Juni 2008. Guna membantu Mama-Mama Pedagang Asli Papua mengatur keuangan hariannya, SKP melalui Unit Penguatan Basis yang selama ini bekerja mendampingi komunitas Mama-Mama pedagang Asli Papua yang berjualan di wilayah Gelael, Jalan Irian, Depan Bank Papua dan wilayah Ampera di pusat Kota Jayapura, memberikan pelatihan mengenai cara membuat pembukuan dasar secara sederhana, setelah sebelumnya melakukan sosialisasi mengenai Perda Kota Jayapura No.8 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Pasar.
Sebagai bagian dari program pendampingan tahun 2008 yang disiapkan oleh Unit Penguatan Basis untuk mengembangkan kecakapan Mama-Mama, yang kurang lebih berjumlah 380 orang menurut data sementara yang dimiliki. Kegiatan pelatihan ini dimaksudkan agar Mama-Mama dapat mengelola secara baik keuntungan yang diperoleh dari aktivitas berjualan. Baik itu mereka yang berjualan secara tetap maupun musiman.
Seperti kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan sebelumnya, kegiatan ini berlangsung pada hari Minggu (15/6) di Balai Paroki Gereja St. Fransiskus, APO. Pelatihan ini dihadiri oleh 50 orang Mama-Mama Pedagang Asli Papua dan berlangsung dari pukul 13.00-15.30 WIT.
Pelatihan yang dilakukan sebagai dari bentuk kegiatan dua mingguan tatap muka bersama Mama-Mama, pertama diisi dengan informasi mengenai perkembangan lobi pasar yang telah dilakukan oleh Solidaritas Mama-Mama Pedagang Asli Papua (SOLPAP) untuk mendapatkan pasar permanen di tengah-tengah Kota Jayapura. Menurut informasi yang disampaikan oleh Br. Rudolf Kambayong, ofm, selaku Koordinator Unit Penguatan Basis, SKP pada dua bulan lalu, tepatnya pada hari Kamis (24/4), telah melakukan pembicaraan dengan Ketua Staf Ahli Gubernur Provinsi Papua, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Papua, dan Kepala Dinas Tata Kota Pemkot Jayapura. Dari pembicaraan tersebut, telah disepakati mengenai rencana pembangunan pasar permanen bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua di tanah milik Pemprov, yang terletak di jalan percetakan, tepat di dua gedua tua yang sekarang ini dikelolah oleh PT. Irian Bakti. Untuk keperluan tersebut, Pemprov akan mengusulkan anggaran pembangunannya pada sidang ABT (Anggaran Belanja Tambahan) tahun 2008 yang akan berlangsung pada bulan agustus ini. Sambil menunggu proses ini, Pemkot diminta menyiapakan lahan bagi Mama-Mama untuk berjualan sementara selama dua tahun di lokasi bekas terminal lama, depan Kantor Pos yang juga terletak di tengah Kota Jayapura.
Setelah mendapatkan informasi sekilas mengenai perkembangan lobi, kegiatan dilanjutkan dengan latihan membuat dan menggunakan pembukuan dasar. Karena materinya yang sederhana dan praktis, pelatihan ini langsung ditangani oleh Bpk Untung Dien sebagai Ekonom SKP.
Supaya ada pemahaman tentang pentingnya sebuah pembukuan dalam kegiatan ekonomi, pada pendahuluan pemateri menjelaskan tentang berbagai pengertian dasar yang berkaitan dengan aspek ekonomi seperti aktivitas ekonomi, motif ekonomi, prinsip ekonomi dan fungsi pembukuan. Selanjutnya dengan menggunakan papan tulis, pemateri mengajarkan tentang cara membuat jurnal sederhana yang diurutkan dari kolom tanggal, kegiatan, penerimaan, pengeluaran dan sisa uang. Juga contoh bagaimana mengisi kolom-kolom tersebut. Pemateri menekankan kepada Mama-Mama supaya ketika membuat jurnal, Mama-Mama harus membedakan antara pengeluaran pribadi dan penjualan agar tidak terjadi kebingunggan dalam pencatatan.
Dari penjelasan tersebut, tampak sebagian Mama-Mama secara antusias mengikuti dan mencatatnya. Ada sebagian Mama-Mama yang mengeluhkan bahwa selama ini mereka salah mengatur keuangannya karena tidak tahu tentang cara membuat dan menggunakan jurnal. Juga ada keluhan mengenai pengeluaran dan pemasukan yang tidak pernah dicatat sehingga mereka tidak tahu berapa besar pengeluaran yang selama ini dibelanjakan dan berapa jumlah keuntungan yang diperoleh. Kesulitan ini terutama dialami oleh kelompok Mama-Mama yang berjualan ikan asar mengingat mereka menggunakan modal yang cuku besar untuk menjalankan usahanya.
Dari materi yang disampaikan, ada sebagian Mama-Mama yang menyimak dan mencatat sedangkan sebagian Mama-Mama ada yang hanya mendengar. Sebab pada komunitas ini ada sebagian Mama-Mama yang tidak bisa baca dan tulis. Kesulitan lainnya ialah karena Mama-Mama yang hadir cukup banyak hingga penjelasan dengan menggunakan papan tulis tidak bisa dilihat oleh mereka yang berada di baris belakang. Dengan demikian dari evaluasi akhir, dilihat bahwa kendala minimnya waktu karena Mama-Mama setiap sore harus berjualan serta berdasarkan kebutuhan dan pentingnya soal ini bagi Mama-Mama, SKP berencana akan mengulangi pelatihan ini dengan cara menggunakan metode praktek langsung tentang cara membuat dan menulis pembukuan.(*)
|
Pemekaran Jayawijaya membingungkan
Jayapura, 15 Maret 2008. "Masalah pemekaran itu urusan orang-orang atas, saya pelayan Tuhan, oleh sebab itu, sejauh yang saya tahu jemaat saya disini tidak pusing dengan pemekaran itu. Saya tidak tahu apakah memang tidak tahu jadi malas tahu ka..atau kenapa..???? Tapi yang jelas jemat saya tidak tahu menahu tentang pemekaran, anak. Jadi anak, ide pemekaran itu mungkin dari Bupati dorang saja ka, sebab kami ini tidak tahu soal itu. Manen (oleh karena itu), tidak papa (tidak masalah), anak dong (kalian) buat saja karena masyarakat ini di buat bingung dengan macam-macam pemekaran ni".
Ungkapan di atas merupakan ekspresi kebingungan yang diutarakan oleh salah satu tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat di Wamena, ketika isu pemekaran gencar dikampanyekan oleh para elite se-Pegunungan Tengah, Provinsi Papua, juga ketika tim SKP bertandang ke kediamannya untuk melakukan jaring pendapat yang dimulai dari tanggal 11-13 Maret 2008, tentang rencana mengadakan seminar untuk mengkaji dampak pemekaran bagi alam dan manusia.
Mencermati isu pemekaran yang telah dikumandangkan oleh lima bupati se-Pegunungan Tengah. Masing-masing, Bupati Jayawijaya Nikolas Jigibalom, Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe, Bupati Pegunungan Bintang Welington Wenda, Bupati Tolikara John Tabo dan Wakil Bupati Yahukimo Daniel Rendeng, pada bulan Maret lalu (1/3). Tampak bahwa aspirasi tersebut bukan murni kemauan masyarakat namun hanya kepentingan elite yang cenderung ingin tetap bercokol dengan kekuasaan yang lebih besar.
Tidak adanya suara lain di luar aspirasi lima bupati yang pada waktu itu gencar dikumandangkan, tidak berarti masyarakat diam dan menyetujui kemauan politik dari kelima bupati tersebut. Kurangnya kebijakan publik yang menjamin kebebasan berekspresi masyarakat, serta minimnya kualitas media masa yang cenderung memihak penguasa, menyebabkan suara masyarakat yang "lain" tertelan oleh hiruk-pikuk keinginan politik sepihak yang digagas oleh elite lokal.
Suara yang "lain" pernah disampaikan juga pada saat perayaan Jubileum (5/2), memperingati masuknya Gereja Katolik di Lembah Balim. Para pemimpin agama pada waktu itu, meminta supaya pemekaran dihentikan karena tidak dilakukan sesuai prosedur UU Otsus. Disisi lain, menurut para agamawan yang selama ini dekat dengan umat, ada kekuatiran mengenai dampak negatif dari hadirnya pemekaran ini. Lebih lanjut menurut mereka, masyarakat pada tingkat paling bawah sangat tidak mengerti tentang tujuan pemekaran ini. Pemekaran dianggap hanya sebagai sarana untuk mengkotak-kotakan orang asli Papua agar mudah dikontrol dan ada kesempatan untuk menambah jumlah aparat TNI/Polri di Papua.
Disinyalir juga oleh Lemok Mabel, Ketua Dewan Adat Jayawijaya yang selama ini getol menyuarakan hak-hak asli orang Papua bahwa isu pemekaran selama ini hanya dimanfaatkan oleh para elit yang menjadi korban politik. Oleh karena itu seharusnya kebijakan untuk memekarkan wilayah Pegunungan Tengah menjadi provinsi, dilakukan melalui studi kelayakan yang menyeluruh pada berbagai aspek. Tuntutan untuk memekarkan wilayah Pegunungan Tengah menjadi provinsi dipandang lebih banyak bermuatan politis dan sarat kepentingan, daripada untuk tujuan yang memihak kepada masyarakat asli Papua.
Senada dengan pendapat tersebut, menurut penilaian Theresia Pabika, Ketua AMPTPI Jayawijaya (Aliansi Mahasiswa Papua Pegunungan Tengah Indonesia), sebuah kelompok mahasiswa yang secara konsisten terus memperjuangkan hak-hak masyarakat asli dan sering mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap salah. Menyimpulkan secara umum, keseluruhan masyarakat di Pegunungan Tengah belum tahu apa tujuan dan sasaran pemekaran. Walaupun ada sebagian masyarakat terlibat mendukung pemekaran, namun kelompok ini hanya segelintir orang yang tidak mewakili seluruh masyarakat. Isolasi daerah, kemiskinan, ketertinggalan masyarakat, selama ini hanya dimanipulasi oleh elite untuk kepentingan mereka. Seharusnya para elite lokal tidak terburu-buru memaksakan pemekaran. Karena sebenarnya yang diinginkan masyarakat ialah para bupati tersebut harus melaporkan secara terbuka dan terperinci tentang penggunaan APBD dan dana Otsus. Baik pada tahun-tahun sebelumnya, atau pada tahun-tahun setelah para bupati tersebut berkuasa. Juga implikasinya secara keseluruhan bagi peningkatan kesejahteraan orang asli Papua, bukan hanya pembangunan fisik semata.
Berbagai keprihatinan dan penilaian ini, tidak menyurutkan niat untuk mendukung pentingnya pemekaran provinsi bagi wilayah Pegunungan Tengah. Menurut pendapat Ibu Salomina Yoboisembut, salah satu pegiat LSM sekaligus anggota DPRD Jayawijaya, berdasarkan kunjungannya ke daerah Tiom dan Mapenduma, ia melihat bahwa masyarakat di sana sangat butuh daerahnya untuk dimekarkan. Keterisolasian dan ketertinggalan masyarakat, dipandangnya sebagai alasan masyarakat di daerah-daerah ini memberontak. Namun dengan nada getir diungkapkan bahwa secara ekonomi, terutama pada sektor informal, pemekaran akan tetap membuat masyarakat asli Papua menjadi penonton di atas tanahnya sendiri karena ketidakmampuan bersaing dengan para pendatang yang sudah lebih siap.
Kebingungan yang dialami oleh masyarakat secara umum tentang pemekaran, terkesan juga dialami oleh para anggota legeslatif. Menurut salah satu anggota legislatif yang juga tokoh masyarakat, selama ini di Wamena, terjadi jarak yang cukup lebar antara legislatif dan eksekutif. Legislatif selama ini tidak bicara tentang pemekaran dan keinginan ini hanya di dorong oleh eksekutif secara sepihak.
Secara keseluruhan dari beberapa sumber yang kami temui selama melakukan jaring pendapat, kami mendapati adanya ketidaktahuan, kebingungan dan ketakutan tentang isu pemekaran ini. Berdasarkan berbagai pendapat yang diungkapkan, ada usulan umum yang dapat kami tarik, diantaranya: 1) Harus ada kebijakan khusus yang tegas untuk melindungi hak-hak orang asli Papua, agar nantinya masyarakat tidak menjadi penonton di tanah sendiri. 2) Sebaiknya pemekaran kabupaten di proritaskan pembangunannya dulu sebelum ada pemekaran provinsi. 3) Pemekaran jangan dijadikan sarana untuk mengkotak-kotakan orang Papua. 4) Pemekaran jangan dijadikan kesempatan untuk menambah jumlah TNI/Polri. 5) Pemekaran harus dilakukan dengan kajian secara menyeluruh pada berbagai aspek dan dilakukan dalam kerangka Otsus. 6) Keputusan pemekaran harus melibatkan masyarakat secara umum sebagai subjek utama. 7) Kemiskinan, isolasi daerah, dan keterbelakangan masyarakat jangan di manipulasi oleh para elite demi kepentingan mereka; tetapi benar-benar harus diarahkankan untuk kesejahteraan asli orang Papua.(*)
|
KMMPP Tagih Janji Pembubaran MRP
Jayapura, 21 Februari 2008. Sekitar lima puluhan orang perwakilan Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Papua (KMMPP) kembali menempati janjinya dengan mendatangi MRP untuk mendengarkan hasil keputusan rapat MRP pada Jumat (15/2) tentang usul pembubaran MRP.
Meskipun suasana Kota Jayapura berada dalam penjagaan ketat karena kedatangan Wakil Presidan RI, Yusuf Kalla, hal ini tidak menyurutkan niat Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Papua untuk mendatangi MRP. Kedatangan perwakilan massa dari Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Papua ini berkaitan dengan janji MRP untuk menanggapi aspirasi pembubaran MRP yang telah disampaikan oleh Koalisi pada hari Senin (11/2).
Setelah berada di Kantor MRP, perwakilan Koalisi diterima oleh bagian Pokja Adat di ruang rapat Pokja Adat, lantai II gedung MRP. Anggota Pokja Adat yang hadir untuk menerima perwakilan Koalisi ialah, Ibu Anisabami, Bpk Yosep Simunapeni, Ibu Yakoba Choe, Ibu Ida Kalasin, Ibu Ruth Karubui, Ibu Martha Olaf, dan Bpk Septer Sirimbe.
Pertemuan berlangsung tertutup karena adanya kecurigaan terhadap hadirnya "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar). Selain untuk mendengarkan tanggapan dari MRP tentang usul pembubaran MRP, tampak dari pembicaraan yang berkembang saat pertemuan dengan Pokja Adat, kedatangan Koalisi yang dikomandani oleh Buctar Tabuni dan Elias Siriwa dari AMPTI (Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia), juga ingin meminta komitmen dari seluruh anggota MRP untuk bersama-sama dengan masyarakat Papua mendorong pengembalian Otsus.
Menanggapi tuntutan tersebut, menurut anggota Pokja Adat yang mewakili daerah Waropen, Yosep Simanupeni, bahwa aspirasi yang sudah disampaikan oleh Koalisi pada hari Senin (11/2), telah dipelajari MRP melalui rapat khusus ditingkat Pokja. Menurutnya laporan ini telah diolah bersama-sama dengan pemikiran MRP dan akan disampaikan oleh pimpinan MRP kepada Wakil Presiden. Selain itu menurutnya jika ingin membubarkan maka secara legal formal UU Otsus harus dicabut di tingkat MA melalui judicial review, bukan didasarkan pada pengembalian Otsus pada tahun 2004 yang nyatanya tidak menggugurkan UU otsus. Selain tanggapan dari Yosep Simanupeni, tanggapan yang senada juga disampaikan oleh anggota Pokja Adat yang hadir pada waktu itu.
Mendengar adanya jawaban yang sama seperti yang disampaikan oleh pimpinan MRP pada waktu sebelumnya, Koalisi mengusulkan supaya sebaiknya pertemuan ini ditunda dan akan dilanjutkan pada hari Senin (18/2) ketika semua pimpinan MRP hadir. Usul ini mendapat persetujuan dari semua anggota Pokja Adat yang hadir sehingga pada pukul 13.30 WIT pertemuan ditutup dengan bersama-sama menyanyikan lagu "Di sana Pulau Ku" dan diakhiri dengan doa yang dibawakan oleh Ibu Anisabami, utusan dari Manokwari-Sorong Selatan.(*)
|
KMMPP tuntut MRP bubarkan diri
Jayapura, 14 Februari 2008. Inkonsistensi pemerintah pusat terhadap penerapan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyebabkan enam ratusan massa yang menamakan dirinya Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Papua (KMMPP) mendatangi MRP pada Senin (12/2) dan meminta MRP segera mengadakan sidang istimewa dalam waktu dekat untuk membubarkan diri.
Aksi masa dimulai pukul 11.19 WIB. Masa yang mulai bergerak dari depan ruko baru, lingkaran Abepura, sekitar kurang lebih 15 Km dari pusat kota Jayapura, dengan berbaris panjang sambil membawa spanduk dan berbagai pamflet yang isinya mengecam inkonsistensi pemerintah pusat terhadap pelaksanaan Otsus dan lembaga MRP yang dianggap tidak mempunyai keberanian memperjuangkan hak-hak asli orang Papua seperti yang diamanatkan dalan UU Otsus Papua. Sepanjang jalan menuju kantor MRP yang berjarak kurang lebih 3 Km dari lingkaran Abepura. Massa juga meneriakkan yel-yel yang menuntut MRP segera dibubarkan.
Di depan halaman kantor MRP, massa menggelar orasi di hadapan anggota MRP yang hadir untuk menemui masa. Dari aspirasi yang disampaikan oleh berbagai elemen yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat peduli Papua, semuanya meminta MRP harus segera membubarkan diri, karena dinilai MRP selama ini hanya menjadi boneka bentukan pemerintah pusat.
Seperti aspirasi yang disampaikan oleh perwakilan DAP, Sadrakh Takime, MRP diminta harus segera menggelar sidang istimewa untuk membubarkan diri. Alasannya, sejak muncul UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, pemerintah tidak pernah berkomitmen untuk melaksanakan isi UU tersebut. Mulai dari lahirnya IJB melalui Inpres No.1/2003, Inpres No.5/2007 yang dianggap mengebiri kewenangan daerah, PP No.77/2007 yang melarang penggunaan lambang daerah Papua yang sudah termaktub dalam UU Otsus, serta RUU inisiatif DPR yang memberikan peluang munculnya pemekaran empat propinsi baru diluar mekanisme UU Otsus. Pada akhir orasi, perwakilan DAP memberikan penyataan bahwa MRP harus segera mengadakan sidang istimewa untuk membubarkan diri, menolak Otsus karena sudah tidak berlaku sebagai sebagaimana mestinya, dan segera memfasilitasi dialog internal, nasional dan internasional untuk menentukan kemerdekaan Bangsa Papua Barat.
Sementara itu, Bpk Sarmadan Sabuku, dari perwakilan Majelis Muslim Papua, menyampaikan orasinya yang menyoroti kurangnya kepekaan moral pemimpin-pemimpin Papua terhadap penderitaan masyarakat asli Papua. Selain tekanan dan tuntutan yang disampaikan oleh dua perwakilan tersebut, ada juga pernyataan dari berbagai perwakilan lainnya seperti SMPT Uncen, Satgas Koteka, dan Front Pepera. Menurut pendapat dan pandangan yang disampaikan dalam dalam orasi bahwa MRP harus dibubarkan. Keberadaan MRP memang sejalan dengan eksistensi Otsus yang tidak digubris lagi oleh pemerintah pusat. Keberadaan MRP juga selama ini dianggap mubazir, sebab beberapa usulan Perdasi dan Perdasus yang dibuatnya selalu tidak mendapat tanggapan dari DPRP. Selain itu MRP dianggap tidak pernah melindungi hak-hak orang asli Papua sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Otsus. Berbagai kejadian yang dialami oleh orang asli Papua seperti, keterpinggiran secara ekonomi dari pendatang, derasnya arus urbanisasi dari luar, isu penculikan, kematian akibat miras, tingginya kasus HIV-AIDS, peristiwa keracunan, masalah transmigrasi, sampai pada penembakan yang pada beberapa waktu lalu terjadi di Pegunungan Bintang, tidak mendapat respon secara tegas oleh MRP.
Terhadap tuntutan yang disampaikan oleh massa, Agus Alua selaku Ketua MRP yang didampingi oleh Wakil Ketua I Bpk Frans Wospakrik, Wakil Ketua II Ibu Hana Hikoyabi, Wakil Ketua Pokja Adat Bpk Septer Sirimbe, Sekretaris Panmus Pdt Hofni Simbiak dan beberapa anggota MRP lainnya menanggapi, "Pengkhianatan pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua, menyangkut pelaksanaan Otsus, sudah dilakukan selama 6 (enam) tahun berjalannya Otsus. Jadi apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa dan masyarakat merupakan persoalan yang sama, yang juga diperjuangkan oleh MRP". Menanggapi tuntutan masa agar MRP membubarkan diri, Agus Alua yang pada waktu menemui massa sedang dalam keadaan sakit ini, mengatakan secara diplomatis bahwa MRP tidak berani menanggapi tuntutan yang disampaikan oleh Koalisi karena dapat melanggar UU Otsus. Selain itu apakah sudah ada komitmen dari Gubernur dan DPRP untuk menanggapi usulan ini. Jadi disarankan supaya pada waktu kedatangan Wakil Presiden nanti pada tanggal 15 Februari 2008, wakil dari Koalisi dapat menyiapkan tuntutan untuk disampaikan.
"Secara internal kelembagaan, MRP juga akan mempelajari aspirasi yang disampaikan oleh Koalisi, minimal dalam Minggu ini akan dilakukan diskusi dan akan diambil sikap bersama-sama. Hasilnya juga akan disampaikan kepada Jakarta melalui kedatangan Wapres nanti, dan terserah jawaban Jakarta seperti apa", demikian tuturnya.
Sekitar pukul 14.00 WIT, massa secara tertib membubarkan diri setelah menyerahkan pernyataan sikap mereka melalui perwakilan Koalisi yang langsung diterima oleh Ketua MRP dan menegaskan bahwa mereka akan tetap memantau pernyataan yang telah disampaikan oleh Ketua MRP.(*)
|
Penjual Noken Bendera Bintang Kejora Ditangkap
Jayapura, 16 Januari 2008. Hari Selasa, 8 Januari 2008, sekitar pukul 18.20 menit, tiga orang berpakaian preman mengaku anggota Polres Jayapura mendatangi tempat berjualan mama pedagang asli Papua, di depan halaman Kantor Telkom, Jl. Ahmad Yani, Jayapura. Mama-mama penjual kerajinan tangan bercorak Bendera Bintang Kejora dipaksa untuk berhenti menjual kerajinan karena melanggar peraturan, yaitu PP No. 77 Tahun 2007. Tiga mama, yakni Yohana Pigome, Agustina Doo, dan Ice Pigome dipaksa ke Polresta Jayapura agar memberikan keterangan. Masyarakat dan mahasiswa yang kebetulan lewat di tempat tersebut lalu ikut serta mendampingi mama-mama ke Polresta Jayapura. Setelah dimintai keterangan, ketiga mama tersebut sempat dipaksa untuk menantandatangani surat pernyataan tidak akan menjual kerajinan tangan bercorak Bintang Kejora, paling lambat hari Selasa, 15 Januari 2008. Namun ketiga mama tidak menandangani pernyataan tersebut dengan alasan bahwa noken itu hanya kreasi untuk menarik minat demi mencari nafkah. Kedua mama tersebut kemudian dilepaskan oleh Polresta Jayapura kurang lebih pukul 22.00 WIP.
Karena tidak menerima tindakan aparat kepolisian tersebut, mama-mama langsung berunding dengan kelompok mahasiswa dan masyarakat di tempat jualan mereka dan memutuskan untuk mengadakan aksi ke DPRP pada hari Jumat, 11 Januari 2008. Rencana ini kemudian didukung oleh mahasiswa dan sekelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Forum Kota.
Rabu, 9 Januari 2008 pagi, kelompok-kelompok mahasiswa (AMPTPI, Dehaling, FNMP, Komunitas Korban), Forum Kota dan Yayasan Inna Yongge yang dipimpin oleh Benny Samori melakukan aksi ke DPRP. Sayang sekali bahwa pihak komisi yang hendak ditemui tidak hadir alias DPRP sedang reses. Untuk mendengar aspirasi dan sekaligus mencari jalan keluar, maka pihak humas DPRP menghubungkan pihak mama-mama dengan pihak kepolisian untuk mencoba mencapai kesepakatan sementara sambil menunggu pertemuan berikut dengan pihak Komisi F DPRP. Pembicaraan dengan pihak kepolisian dilakukan di depan halaman Kantor DPRP.
Dalam pembicaraan tersebut disepakati: pertama, mama-mama tetap berjualan seperti biasa. Kedua, mama akan berhenti berjualan kerajinan tangan bercorak bintang kejora jika sudah dilakukan sosialisasikan PP No. 77 Tahun 2007 kepada masyarakat umum, yang isinya antara lain menyangkut lambang daerah atau atribut yang dilarang oleh pemerintah RI. Ketiga, kelompok pendemo akan bertemu dengan Komisi F DPRP setelah masa reses DPRP berakhir tanggal 15 Januari 2008.(*)
|
Perayaan Hari Damai se-Dunia: 21 September 200
Jayapura, 21 September 2007. Hari damai internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 21 September di seluruh dunia, tahun ini diperingati juga di kota Jayapura. Peringatan hari damai ini dimotori oleh SKP Keuskupan Jayapura dan Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA). Serangkaian kegiatan dilaksanakan: seruan damai oleh para pemimpin agama di wilayah pelayanannya masing-masing dimulai pada tanggal 15 September hingga akhir bulan, pemasangan spanduk dengan seruan "Mau Papua Damai? Stop Miras dan HIV/AIDS" dan "Papua Tanah Damai Milik Kita Semua" pada sejumlah titik di kota Jayapura, Abepura dan Sentani pada tanggal 18-30 September, langen suara di RRI dan Art FM selama 2 minggu dimulai tanggal 18 September, dialog interaktif di Stasiun TV. TVRI lensa Papua pada hari kamis 20 September, pembagian leaflet pada sejumlah titik di Abepura pagi hari tanggal 21 September, dan ditutup dengan acara puncak panggung hiburan rakyat di Taman Imbi pada malam hari tanggal 21 September.
Kegiatan inti yang dirasa cukup berat yaitu dialog interaktif dan panggung hiburan dapat berjalan dengan baik. Dialog interaktif dengan topik "Apa sumbangan kita bagi perdamaian di Tanah Papua" yang disiarkan langsung stasiun TV. TVRI Lensa Papua berlangsung di Lounge Swiss-Bel Hotel. Hadir sebagai Narasumber adalah Bp. Drs. Alex Hesegem wakil pemerintah, Ibu Hana Hikoyabi mewakili MRP, Bp. Zubeir D. Husein dan Bp. Pdt. Herman Saud mewakili FKPPA, Bp. T.H. Pasaribu mewakili panitia, serta Bapak Washingthon Turnip dari KESBANG Provinsi Papua. Beberapa tanggapan yang diutarakan oleh masyarakat (pemirsa) pada kesempatan ini yaitu mengenai situasi Papua yang belakangan ini dirasakan tidak aman lagi, implementasi otonomi khusus yang tidak berjalan dengan baik, pemerintah dianggap sebagai wakil Allah, namun dalam praktek selama ini tidak jujur, Papua tanah damai tidak bisa tercipta bila TNI-Polri tidak mau terlibat.
Hasil minimal yang ingin dicapai dengan dialog interaktif ini yaitu membantu membuka ruang bagi berbagai pihak, baik masyarakat maupun aparat keamanan untuk membicarakan situasi keresahan masyarakat akibat beredarnya sms teror dan rumor-rumor lainnya. Apalagi pada saat bersamaan, terjadi aksi pengrusakan kios-kios di pasar Sinakma Wamena akibat rumor sejenis.
Sementara itu acara puncak panggung hiburan rakyat yang mengambil tema khusus "Biarkan kami bernyanyi dan menari dalam damai" diselenggarakan di Taman Imbi kota Jayapura berlangsung meriah malam itu. Panggung hiburan yang dipandu oleh Bapak Pilemon dan Ibu Rebeka dengan obrolan khas para-para pinang pada berlanggsung dari pukul 16.30-22.00 WIT.
Acara dimeriahkan oleh penampilan 4 grup tari, 2 grup musik yang berada di kota Jayapura. Kelompok tari dan musik tersebut yaitu; kelompok tari Hostari dari dok VIII (serui) kelompok tari lemon nipis Wayambe dari Waena , kelompok tari Mansafagu dari kampung Waena dan kelompok tari Kayu Batu. Grup musik Hing Lander dengan aliran reagge, Vokal grup musik tradisonal Papua yang dikoordinir oleh Verry Marisan serta Theater Lestari dengan tema minuman keras dan otonomi khusus. Khusus untuk grup musik tradisional Papua, nampaknya masyarakat yang hadir pada saat itu sangat tersentuh dengan lagu-lagu yang dibawakan serta penampilan Theater Lestari yang membuat seluruh penonton tertawa.
Pada pertengahan acara, Pdt. Herman Saud, S.Th perwakilan dari FKPPA, menyerukan kepada penonton yang jumlahnya kurang lebih seribuan orang untuk menjaga damai di tanah Papua merupakan tanggung jawab kita bersama. Kegiatan peringatan hari damai internasional ini dapat berjalan dengan baik karena kerjasama berbagai pihak yaitu; para staff SKP, Bapak T.H. Pasaribu, dan Pdt. Heman Saud S.Th, Stasiun TV.TVRI, RRI, Art. FM, pengisi acara panggung hiburan, semua masyarakat kota Jayapura dan Polresta Jayapura dengan personilnya yang mengamankan jalannya acara serta menyiapkan dua mobil truk untuk mengantar para peserta pulang.(*)
|
DAP dan PDP diinterogasi Polda
Jayapura, 15 Juli 2007. Di tengah gencarnya sorotan atas pembentangan bendera Bintang Kejora saat pembukaan Konferensi II Dewan Adat Papua (KDAP) tgl. 9 Juli lalu, Polda Papua akhirnya melayangkan surat pemanggilan No. Pol: Pgl/668/VII/2007/Dit Reskrim kepada panitia penyelenggara KDAP. 11 orang dipanggil sebagai saksi dalam perkara kejahatan terhadap keamanan negara.
Demikianlah rincian kronologi pemanggilan dan interogasi:
Jumat, 6 Juli
Sekitar pk. 21.00 pada saat selesainya penutupan Konferensi Besar DAP II di GOR Cenderawasih APO Jayapura, bapak Leo Imbiri selaku Sekretaris Umum DAP mendapat surat panggilan dari POLDA PAPUA bernomor: Surat panggilan No. Pol: Pgl/668/VII/2007/Dit Reskrim ditujukan kepada 11 orang pengurus inti DAP. Dalam Surat panggilan tersebut pengurus DAP, panitia Konferensi serta PDP diminta datang pada hari Jumat tanggal 06 Juli 2007 pukul 12.00 Wit menemui AKBP B. SITINJAK, Sst.Mk, SH penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Papua di Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8 Jayapura guna didengar keterangannya sebagai Saksi dalam Perkara Kejahatan terhadap keamanan negara, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 106 Jo Pasal 87 KUHP. Berhubung penutupan Konferensi baru dilakukan pada jam 17.00-20.45 sehingga disepakati untuk pemeriksaaan dilakukan pada tanggal 7 Juli 2007.
Nama-nama 11 orang yang dipanggil :
[1]. Tom Beanal: Ketua DAP periode 2002-2007 [2]. Willy Mandowen [3]. Benyamin Yarisetouw [4]. Thaha Moh. Alhamid: Sekjen DAP [5]. Forkorus Yaboisembut: Ketua DAP periode 2007-2012 [6]. Leonard Imbiri: Sekum DAP periode 2002-2007, 2007-2012 [7]. Yakob Kasimat: Sekretaris panitia KBMAP [8]. Welem Rumasep: Wakil Sekretaris KBMAP [9]. Astrid Rumbonde: Wakil Sekretaris KBMAP [10]. Alfrida Faidiban: Bendahara KBMAP [11]. Asmira Alhamid: Wakil Bendahara
Sabtu, 7 Juli
Dari 11 orang yang dipanggil hanya 8 orang pengurus inti DAP yaitu Thaha Moh. Alhamid, Forkorus Yaboisembut, Leonard Imbiri, Yakob Kasimat, Welem Rumasep, Astrid Rumbonde, Alfrida Faidiban dan Asmira Alhamid yang didampingi oleh pengacara Anum Siregar dan Iwan Niode memenuhi panggilan POLDA dan diperiksa secara terpisah mulai dari jam 10.30 sampai dengan jam 21.00. Selama pemeriksaan umumnya dijalankan sesuai aturan hukum, kecuali Astrid yang mengalami bentakan dan intimidasi mental oleh penyidik seperti "Kamu kan belum dipukul mengapa tidak mau menjawab".
Senin, 8 Juli
3 orang pengurus DAP, pimpinan sidang dan panitia, yaitu Sayid Fadhal Alhamid, Welem Bonai dan Pieter Mansawan memenuhi panggilan POLDA dan diperiksa secara terpisah dengan didampingi oleh pengacara dari ALDP, Kontras dan LBH. Mereka diperiksa dari jam 10.00 sampai 18.00.
Selasa, 9 Juli
11 orang pengurus inti DAP kembali diperiksa oleh pihak POLDA mulai dari jam 10.30 sampai dengan jam 15.00 didampingi oleh sekitar 11 orang pengacara dari ALDP, Kontras, dan LBH diantaranya adalah Pieter Ell, Anum Siregar, Iwan Niode. Diantara 11 orang tersebut, saudara Welem Rumasep tidak dapat melanjutkan pemeriksaan karena sakit.(*)
|
Hina Jilani ke Papua: babak baru penegakan HAM
Jayapura, 8 Juni 2007. Wakil Khusus Sekjen PBB Urusan Pembela HAM, Ibu Hila Jilani, tiba di Jayapura hari ini dalam kunjungan ke Indonesia selama 5-13 Juni 2007 setelah tiga tahun meminta izin kepada Pemerintah Indonesia. Kedatangan di Bandara Sentani disambut dengan aksi dukungan dari kalangan mahasiswa Papua yang membentangkan poster-poster yang menegaskan perlunya penanganan masalah pelanggaran HAM. Aksi dukungan juga dilakukan oleh Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah di depan Hotel Swiss-Bell tempat dia menginap dan oleh kalangan mahasiswa lainnya di Taman Imbi. Akibat padatnya jadwal bagi lembaga negara, kalangan pemimpin agama hanya mendapatkan jatah waktu sekitar 45 menit dari pk. 17.45-18.30. Dalam pertemuan dengan para pemimpin agama di Kantor Keuskupan Jayapura, Ibu Hina Jilani menerima kesaksian dari para pemimpin Gereja di Papua yang mengalami tindakan penangkapan sewenang-wenang, interogasi, intimidasi, dan stigmatisasi dari TNI, Polri dan Pejabat Pemerintah Daerah.
Pertemuan dengan kalangan Ornop baru terlaksana pada pk. 19.30 dan berakhir pada pk. 20.30 bertempat di Kantor Sinode GKI di Tanah Papua, Argapura. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 100 orang wakil-wakil para Pembela HAM dari berbagai wilayah di Papua yang terangkum dalam 6 kesaksian yang mewakili kalangan LSM, kelompok aktivis perempuan, kalangan aktivis mahasiswa, kalangan buruh, pembela HAM di tingkat akar rumput, dan Dewan Adat Papua.
Ibu Hina Jilani, profesor hukum HAM dan hukum internasional berkebangsaan Pakistan ini, memegang mandat sebagai pelapor khusus sejak Agustus 2000 berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB no. 2000/61 tertanggal 26 April 2000. Mandatnya mencakup tiga tugas utama: [1] Mencari, menerima, menguji dan menanggapi informasi mengenai keadaan dan hak setiap orang, yang bertindak secara perorangan maupun bersama-sama, dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar; [2] Membangun kerjasama dan melakukan dialog dengan kalangan pemerintah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan pada pemajuan dan pelaksanaan Deklarasi PBB tentang Pembela HAM tahun 1998 secara efektif; [3] Memberikan saran-saran strategis yang lebih baik bagi perlindungan para pembela HAM. Sejak tahun 2004, secara berturut-turut dia telah meminta ijin untuk berkunjung ke Indonesia dan baru terlaksana pada tahun 2007 ini (*)
|
"Untuk Siapa Anda Berjalan?"
Timika, 3 Februari 2007. Demikianlah pertanyaan penuntun yang diberikan oleh Mgr. John Saklil Pr, Uskup Timika, dalam rekoleksi sehari guna mengawali Evaluasi dan Rapat Kerja tahunan SKP se-Papua Kelima di Timika. Kegiatan ini sedianya di Agats, Asmat, tetapi kesulitan pesawat memaksa perhelatan SKP se-Papua dipindahkan ke Timika dengan SKP Agats tetap sebagai penyelenggara dibantu oleh SKP Timika. Dalam refleksinya Uskup John mengajak SKP kelima Keuskupan melihat kembali untuk siapa SKP menjalankan karya-karyanya, terutama dalam menghadapi adanya kontradiksi budaya bangsa baik di tingkat Nasional maupun di tingkat lokal Papua dewasa ini. Refleksi ini semakin merasuk dalam setiap pribadi yang hadir, dengan permenungan dari kitab Yehezkiel 37 : 1 -14 dan kisah Yesus dalam Injil Lukas 19 : 28-40.
Inspirasi refleksi pada hari pertama tersebut mewarnai jalannya kegiatan evaluasi program sekaligus pelatihan Perencanaan Strategis Kantor SKP. Kegiatan berlangsung sejak tanggal 3-11 Februari 2007 di Rumah Transit Keuskupan Timika diikuti oleh unsur pimpinan dan staf SKP dari 5 keuskupan di Tanah Papua. Pada kesempatan itu hadir pula Pak Roem Toepatimasang, seorang fasilitator senior dari INSIST Yogyakarta yang memang sudah berpengalaman dalam pengembangan organisisasi-organisasi kerakyatan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Ditengah panasnya udara kota Timika, proses ini dilalui bersama tanpa lelah. Meskipun sejak pukul 8.00 WIT pagi kegiatan sudah dimulai, dan berakhir pada pukul 22.00 WIT (pukul 10 malam), namun peserta tetap antusias apalagi selalu ada canda mewarnai jalannya pelatihan dan rapat kerja tersebut. "Berjalan dalam Keseimbangan" begitulah satu istilah yang selalu memberi semangat kepada peserta, sebuah istilah yang diambil dari slogan Wilayah Asmat, yang sepertinya memang cocok dengan tema refleksi yang diberikan Uskup John.
Pelatihan tersebut juga memberikan wawasan baru mengenai perbedaan mendasar antara perencanaan strategis dan perencanaan biasa yang selama ini dipakai. Perencanaan Strategis adalah perencanaan yang bersifat konjungtural artinya mempertimbangkan perubahan-perubahan dan faktor-faktor pendukung seperti faktor eksternal (situasi dan perubahan sosial, politik, kontradiksi sosial) dan faktor internal (kekuatan dan keadaan internal kantor). Sedangkan Perencanaan Biasa adalah perencanaan yang sifatnya linear dengan asumsi bahwa tidak akan terjadi perubahan sehingga apa yang sudah menjadi rencana tidak dapat berubah dan harus dijalankan.
Masing-masing SKP dituntun untuk menyusun visi praktis (practical vision) sebagai terjemahan dari visi besar yang telah dirumuskan di setiap SKP dan secara bersama oleh semua SKP se-Papua. SKP-SKP juga diajak menengok kembali mandat sosial yang diberikan kepada SKP yang lebih kongkrit lagi diaktualisasikan dalam program kerja. Fasilitator mengikuti dengan baik dinamika tersebut dan sesekali memberikan masukan kritisnya.
Secara bersama, SKP se-Papua melihat dengan tajam tantangan eksternal yang makin berat bagi pelayanan SKP, seperti budaya korupsi, [2] penambahan pasukan militer, [3] fragmentasi sosial, [4] konflik akibat pemekaran wilayah [5] Investor membanjir, [6] pembangunan mega proyek. Namun demikian terdapat peluang untuk terus bersemangat melayani umat di Tanah Papua ini dengan [1] Kebangkitan masyarakat adat, [2] adanya undangan tetap di Dewan HAM PBB, [3] Penguatan posisi dan peran pemuka agama, dan [4] UU Otsus. Beberapa catatan penting mengenai keadaan intern SKP se-Papua, yaitu [1] SKP juga harus meningkatkan kualitas dan kecakapan staf serta [2] penambahan tenaga program maupun tenaga administrasi keuangan untuk mendukung kinerja SKP ke masa mendatang, [3] ketergantungan pada dana eksternal. Namun demikian, terdapat juga peluang untuk terus melakukan terobosan dengan [1] adanya sponsor yang tetap, [2] sarana dan prasarana yang memadai, serta [3] jaringan kerja yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan kajian eksternal dan internal inilah SKP se-Papua menetapkan prioritas perhatian baik dari segi program maupun dari segi organisasi untuk lima tahun ke depan.
Dari segi program:
- Penguatan basis: teritorial & kategorial agar mampu secara mandiri melakukan kegiatan pengorganisasian, penanganan kasus, penyadaran, dan investigasi sederhana;
- Ekspos kasus-kasus kunci yang menggambarkan pelanggaran berat HAM baik hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
- Kajian-kajian khusus: Otsus dan militer yang amat menentukan peta politik Papua sekarang dan di masa datang;
- "Menuju Jenewa": kegiatan advokasi dan lobi di tingkat PBB untuk mensosialisasikan keadaan Papua secara objektif dan akurat sehingga pada akhirnya memberikan perubahan nyata di lapangan;
- Tim Litigasi khusus: antar SKP guna menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua mengingat ketersediaan pengacara praktik yang makin sulit diandalkan untuk melayani kepentingan korban;
- Membangun Pola kemitraan dengan organisasi lain yang mendukung karya SKP
Dari segi organisasi:
- Penambahan tenaga: advokasi, keuangan, IT (information technology);
- Pengadaan sarana khusus di wilayah khusus, seperti speedboat untuk SKP Agats, server bersama SKP yang direncanakan dibangun di Merauke;
- Reorientasi sistem pendidikan staf yang bersifat spesialis, mendalam, programatik, dan berkelanjutnan;
- Pembenahan sistem keuangan: penerapan audit eksternal oleh Akuntan Publik seperti sudah dimulai oleh SKP Jayapura dan penggalian potensi dana lokal;
- Konsolidasi internal dengan tim pastoral dan komisi-komisi di setiap keuskupan agar kinerja dan pelayanan SKP se-Papua makin sinergis dengan gerak dan langkah keuskupan masing-masing.
Akhirnya, agar tetap tahu untuk siapa �pasukan SKP� berjalan maka SKP-SKP perlu tetap berjalan dalam keseimbangan. Serius tetapi perlu santai. Hari Minggu tanggal 11 Februari, dengan menggunakan 2 buah mobil Panther, rombongan SKP berekreasi bersama di kali Mayon yang padat dengan pengunjung. Karena tempat disekitar kali penuh sesak, terpaksa mantan Uskup Ilaga (Frater Saul Wanimbo) dari SKP Timika harus merintis �jalan baru� di sekitar hutan kali Mayon agar semua bisa menikmati segarnya air sungai yang mudah-mudahan tidak tercemar tailings.(*).
|
Rapat Kerja Evaluasi SKP
Jayapura, 17 Desember 2006. Seiring dengan berakhirnya tahun kerja 2006, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura menggelar Evaluasi dan Rapat Kerja (Raker) Tahunan 2006. Kegiatan ini berlangsung selama 6 hari, sejak tanggal 17-21 Desember bertempat di sanggar Semadi Santa Clara Sentani. Evaluasi dan Raker ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu evaluasi pelaksanaan program tahun 2006 yang diuraikan per divisi: Divisi Advokasi, Divisi Publikasi dan Dokumentasi, Divisi Membangun Budaya Damai, Divisi Ekologi, Divisi Administrasi dan Keuangan. Evaluasi dilakukan dengan melihat kembali program kerja per divisi dan melihat gagal dan sukses serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rapat Kerja diisi dengan membahas rencana kerja SKP tahun 2007 dengan mengacu pada hasil evaluasi pelaksanaan program tahun 2006. Kegiatan ini diikuti oleh pimpinan, seluruh staf, tenaga magang, tenaga relawan, tenaga program dan kontak person SKP Jayapura. Evaluasi dan Raker disaksikan langsung oleh Badan Pendiri SKP yaitu Keuskupan Jayapura dan Ordo Fransiskan Kustodi Duta Damai yang diwakili oleh para delegat, yaitu Bapak Hardus Desa dan Pastor Gabriel Ngga, ofm. Pelaksanaan evaluasi ini berjalan lancar dan serius. Terjadi pembahasan yang mendalam pada evaluasi setiap program, misalnya pada program-program advokasi yang menuntut lebih banyak perhatian dan tenaga. Program-program dokumentasi dan publikasi juga menuntut perhatian serius karena publikasi yang dikeluarkan SKP dinilai sangat membantu memberikan informasi kepada publik mengenai situasi HAM di Papua. Administrasi dan keuangan yang juga menjadi perhatian khusus karena SKP akan segera menjalani audit eksternal. Hal-hal lain yang tidak kalah penting dibahas adalah ketenagaan dan kecakapan staf. Sedangkan dalam menyusun rencana kerja tahun 2007, unsur-unsur tersebut menjadi bahan pertimbangan, selain dinamika situasi sosial dan politik Papua. Secara keseluruhan kerja SKP pada tahun 2006 dinilai berhasil. Komentar Kustos, Pastor Ferdinand Sahadun, ofm sebagai salah satu badan Pendiri melihat baik pekerjaan SKP selama tahun 2006. Hal ini juga muncul dalam komentar-komentar yang diberikan oleh para mitra kerja SKP, yang turut hadir dalam pertemuan hari terakhir Raker. Mereka menilai apa yang telah dilakukan SKP sangat membantu proses penegakan Hak-hak Asasi Manusia di tengah situasi sosial politik Papua saat ini(*).
|
Rapat Kerja Evaluasi SKP
Jayapura, 17 Desember 2006. Seiring dengan berakhirnya tahun kerja 2006, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura menggelar Evaluasi dan Rapat Kerja (Raker) Tahunan 2006. Kegiatan ini berlangsung selama 6 hari, sejak tanggal 17-21 Desember bertempat di sanggar Semadi Santa Clara Sentani. Evaluasi dan Raker ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu evaluasi pelaksanaan program tahun 2006 yang diuraikan per divisi: Divisi Advokasi, Divisi Publikasi dan Dokumentasi, Divisi Membangun Budaya Damai, Divisi Ekologi, Divisi Administrasi dan Keuangan. Evaluasi dilakukan dengan melihat kembali program kerja per divisi dan melihat gagal dan sukses serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rapat Kerja diisi dengan membahas rencana kerja SKP tahun 2007 dengan mengacu pada hasil evaluasi pelaksanaan program tahun 2006. Kegiatan ini diikuti oleh pimpinan, seluruh staf, tenaga magang, tenaga relawan, tenaga program dan kontak person SKP Jayapura. Evaluasi dan Raker disaksikan langsung oleh Badan Pendiri SKP yaitu Keuskupan Jayapura dan Ordo Fransiskan Kustodi Duta Damai yang diwakili oleh para delegat, yaitu Bapak Hardus Desa dan Pastor Gabriel Ngga, ofm. Pelaksanaan evaluasi ini berjalan lancar dan serius. Terjadi pembahasan yang mendalam pada evaluasi setiap program, misalnya pada program-program advokasi yang menuntut lebih banyak perhatian dan tenaga. Program-program dokumentasi dan publikasi juga menuntut perhatian serius karena publikasi yang dikeluarkan SKP dinilai sangat membantu memberikan informasi kepada publik mengenai situasi HAM di Papua. Administrasi dan keuangan yang juga menjadi perhatian khusus karena SKP akan segera menjalani audit eksternal. Hal-hal lain yang tidak kalah penting dibahas adalah ketenagaan dan kecakapan staf. Sedangkan dalam menyusun rencana kerja tahun 2007, unsur-unsur tersebut menjadi bahan pertimbangan, selain dinamika situasi sosial dan politik Papua. Secara keseluruhan kerja SKP pada tahun 2006 dinilai berhasil. Komentar Kustos, Pastor Ferdinand Sahadun, ofm sebagai salah satu badan Pendiri melihat baik pekerjaan SKP selama tahun 2006. Hal ini juga muncul dalam komentar-komentar yang diberikan oleh para mitra kerja SKP, yang turut hadir dalam pertemuan hari terakhir Raker. Mereka menilai apa yang telah dilakukan SKP sangat membantu proses penegakan Hak-hak Asasi Manusia di tengah situasi sosial politik Papua saat ini(*).
|
Sehat itu Sa pu Hak
Wamena, 11 Desember 2006. Pada tanggal 11-13 Desember 2006, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura menggelar seminar dan lokakarya hasil penelitian Sistem Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Jayawijaya. Seminar yang bertema "Sehat itu Sa Pu Hak" ini berlangsung di Sanggar Belajar Bethesda Wamena. Seminar ini dilaksanakan untuk mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh SKP bekerjasama dengan INSIST Yogyakarta/YPRI Yogyakarta dan INNINAWA Makassar. Seminar dan lokakarya ini dibuka oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Jayawija Chris Wopari mewakili Bupati Jayawijaya. Hasil penelitian ini dipresentasikan dalam seminar oleh dr. Ririn Habsari, salah satu anggota tim peneliti dari YPRI, di depan para pejabat pemerintah setempat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kepala Distrik dan tenaga medis dari 8 distrik di yang menjadi wilayah penelitian. Kesempatan ini juga dihadiri oleh para tenaga peneliti yang direkrut dari tenaga setempat. Penelitian ini menemukan bahwa sistem pelayanan kesehatan di Kabupaten Jayawijaya lumpuh. Sebanyak 141,417 jiwa (44,9%) penduduk Jayawijaya tidak mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan. Data menunjukkan terdapat 32 Puskesmas, dengan ratio 1 : 9.842 jiwa, 40 Pustu dengan ratio 1 : 7.874 jiwa, puluhan Polindes dan Balai Pengobatan. Meskipun demikian belum mampu melayani kebutuhan kesehatan masyarakat karena jarak yang jauh dan konsentrasi penduduk yang tersebar. Penelitian juga menemukan hanya 38% dari 144.882 jiwa penduduk miskin yang memiliki kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPKMM). Situasi politik dan pemerintahan Jayawijaya yang tidak berjalan baik karena pergantian kepemimpinan menyebabkan penanganan sistem pelayanan kesehatan di kabupaten ini tidak berjalan baik. Fungsi pengawasan dan monitoring dari Dinas Kesehatan tidak berjalan sehingga pendataan, saranan dan prasarana kesehatan di lapangan juga tidak memadai. Sementara itu alokasi anggaran daerah untuk bidang kesehatan pada tahun 2005 hanya mendapatkan porsi kecil yaitu 2,75% dari total belanja APBD (Rp. 6.667.000.000). Kegiatan ini mendapat sambutan antusias dari seluruh peserta, terutama Sekda Kabupaten Jayawijaya dan unsur pejabat pemerintah setempat. Mereka merasa mendapatkan banyak informasi baru yang selama ini tidak mereka ketahui. Hal ini mendorong pejabat pemda setempat untuk kembali memperhatikan perencanaan anggaran dan pelayanan bidang kesehatan di kabupaten Jayawijaya. Ini sejalan dengan apa yang menjadi salah satu rekomendasi berdasar hasil penelitian tersebut. Peserta juga mendapatkan suatu wawasan baru tentang kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam lokakarya tersebut, peserta yang datang dari beberapa distrik yang berbeda, sepakat untuk membentuk kelompok kerja di 2 wilayah yaitu wilayah Kwiyawage dan wilayah Kurulu. Kelompok kerja ini akan memfokuskan kegiatannya pada penanganan pelayanan kesehatan secara mandiri di setiap wilayah dengan menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat setempat. Kelompok kerja ini diharapkan akan menjadi contoh bagi wilayah-wilayah lain di Kabupaten Jayawijaya(*).
|
"Perhatikan Mama-mama, Selamatkan Generasi Bangsa"
Jayapura, 25 November 2006. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura menyelenggarakan sebuah seminar hasil penelitian mengenai kondisi sehari-hari Mama-mama Papua penjual sayuran di Kota Jayapura. Seminar ini bertepatan dengan peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) tanggal 25 November 2006. Dengan mengangkat tema "Perhatikan Mama-mama, Selamatkan Generasi Bangsa", seminar yang berlangsung di gedung Dewan Kesenian Tanah Papua ini dihadiri oleh kalangan LSM, gereja, tokoh masyarakat dan sekitar 200-an mama-mama penjual sayuran, yang tersebar di kota Jayapura.
Hadir sebagai penanggap dalam seminar ini Walikota Jayapura, Drs. M.R. Kambu MSc, sebagai penanggap utama, Ibu Selfiana Sanggenafa, SH (Direktris LP3AP), Albert Rumbekwan, SH (Ketua KOMNAS HAM perwakilan Papua) dan Bpk. Sharlly Parangan (Divisi Bisnis Bank Papua). Bertindak selaku moderator Cunding Levi, seorang wartawan media lokal dan nasional. Laporan hasil penelitian disajikan oleh Ibu Dominggas Nari dan Karel Boma mewakili tim peneliti.
Seminar dibuka oleh Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, ofm. Uskup menyambut baik penelitian ini dan menekankan pentingnya pemerintah untuk membangun sebuah pasar kecil (pasar tradisional) untuk mama-mama ini, sebagai bagian dari upaya pemerintah melakukan penataan kota, sekaligus mengatur sistem pasar kota antara pasar tradisional dan toko-toko swalayan.
Kegiatan ini diawali dengan pemutaran film berdurasi 14 menit berupa cuplikan wawancara 3 orang mama penjual sayur yang menceriterakan pengalaman digusur dari satu tempat ke tempat yang lain karena mencari tempat berjualan yang layak di tengah kota Jayapura. Sampai saat ini mereka hanya berjualan dengan mengambil tempat di areal yang kosong di tengah kota sehingga sewaktu-waktu terancam digusur lagi.
Cunding Levi kemudian memandu jalannya seminar. Dalam pemaparan laporan penelitian yang diberi judul "Antara Kenyataan Diskriminatif dengan Kebijakan Pemerintah Kota Jayapura" disebutkan bahwa mama-mama Papua yang berjualan sayuran, pinang dan ikan asar di sekitar Kota Jayapura, tidak mendapatkan tempat yang resmi dan layak untuk berjualan. Mereka masih berjualan di pinggiran toko, di jalan dan di areal parkir. Status merekapun adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan status tersebut mereka tidak aman untuk terus berjualan karena sewaktu-waktu terancam untuk dipindahkan.
Diskusi ini berjalan baik meskipun suasana sempat memanas karena mama-mama penjual sayuran yang memadati hampir sebagian besar gedung pertemuan merasa tidak puas dengan tanggapan-tanggapan yang diberikan oleh Walikota sebagi penanggap utama. Memang dalam diskusi ini pertanyaan lebih banyak ditujukan kepada walikota, terutama menyangkut kebijakan pemerintah kota dalam menata kota dan membangun sebuah pasar tradisional khusus bagi mama-mama Papua di tengah kota Jayapura. Apalagi walikota menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang di tengah kota untuk membangun sebuah pasar tradisional bagi mama-mama Papua penjual sayuran. Kebijakan pemerintah kota adalah memberikan kesempatan kepada para investor untuk menginvestasikan modalnya bagi pengembangan ekonomi kota Jayapura.
Tanggapan yang datang dari penanggap lainnya bernada sama, yaitu meminta Pemerintah Kota untuk memperhatikan nasib para penjual sayuran ini. Sementara itu pihak Bank Papua memberikan peluang kredit lunak kepada mama-mama penjual sayuran, ikan dan pinang yang tersebar di Kota Jayapura ini. Hanya tinggal mencari mitra yang dapat melakukan pendampingan dan pembinaan kepada para penjual sayuran ini.
Diskusi ini penting dilakukan untuk memaparkan kepada publik tentang permasalahan yang senyatanya terjadi di kota Jayapura, yang oleh publik dianggap hal biasa dan bukan menjadi masalah. Padahal kenyataan-kenyataan ini merupakan permasalahan serius bagi kota Jayapura. Br. Budi Hernawan ofm, Direktur SKP Jayapura mengungkapkan ini merupakan kesempatan baik untuk bersama-sama melihat permasalahan tersebut dan mengajak berbagai pihak, mama-mama penjual sayur, Pemerintah Kota, LSM dan Bank untuk mencari jalan keluar yang terbaik (*).
|
Para Terpidana Kasus Abepura sedang sakit
Jayapura, 19 Oktober 2006. Ketua Komda HAM Papua, Albert Rumbekwan SH, menyatakan 23 orang terpidana dalam kasus Abepura 16 Maret 2006 terbukti sakit. Pernyataan ini disampaikan kepada publik saat pihaknya mengadakan verifikasi pengaduan keluarga terpidana dan PGGP mengenai kondisi dengan mengunjungi mereka di LP Abepura, Kamis 19 Oktober 2006.
Setelah tertunda sekitar satu jam dari permohonan waktu berkunjung yang disampaikan kepada Kepala Departemen Hukum dan HAM Papua, Ketua Komda akhirnya berhasil menemui 23 terdakwa pada pk. 12.30 WP dan langsung mengadakan pertemuan tertutup didampingi oleh salah seorang pendamping korban, Ny. Pdt. Dora Balubun.
Di akhir kunjungan Komda HAM Papua berjanji akan menindaklanjuti kunjungan awal ini dengan kunjungan lanjutan yang memfokuskan perhatian pada dugaan penyiksaan yang dialami oleh Selpius Bobii, Echo Berotabui, dkk. Untuk itu pihaknya akan mewawancarai satu per satu narapidana yang ada guna memverifikasi laporan pengaduan PGGP yang telah disampaikan kepada Komda HAM Papua tgl. 28 September 2006.
Kasus Abepura 16 Maret 2006 merupakan puncak dari serangkain demo massa yang menentang PT Freeport Indonesia yang terjadi di Timika, Makassar, dan Jakarta. Insiden ini telah mengakibatkan 4 orang anggota polisi dan 1 orang anggota AU terbunuh dalam insiden. Pasca insiden, Polisi melakukan operasi pengejaran dan melakukan penangkapan dan penahanan puluhan orang, khususnya kelompok mahasiswa Papua dari asrama-asrama di sekitar Abepura. Dalam penahanan di Polsekta Abepura, Polresta Jayapura, Brimobda Papua di Kotaraja, dan Polda Papua, semua tahanan mengalami penyiksaan karena dipaksa mengaku sebagai pelaku tindak pembunuhan polisi. 23 narapidana adalah bagian kecil dari mereka yang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, disiksa, dan diajukan ke muka pengadilan dengan tuduhan pembunuhan.(*) ( berita terkait lainnya )
|
PGGP dan Keluarga Korban Abepura mengadu ke Komnas HAM Jakarta
Jakarta, 5 Oktober 2006. Tidak puas dengan pengaduan ke Komda HAM Papua, PGGP dan keluarga korban menindaklanjutinya dengan mengadu ke Komnas HAM di Jakarta. Keluarga korban yang diwakili oleh Ny. Emi Berotabui dan Sula Buiney mengajukan tiga tuntutan: pertama, pembentukan KPP HAM untuk Abepura; kedua, pemeriksaan kondisi kesehatan para tahanan di LP Abepura yang kondisinya makin kritis; dan ketiga, jaminan keselamatan untuk keluarga, pendamping, dan pekerja HAM di Jayapura.
Komnas HAM yang diwakili oleh Bpk. Enny Soeprapto, Ibu Zoemrotin, dan Ketua Komda HAM Papua, Bpk. Albert Rumbekwan, menyatakan bahwa pihak Komnas HAM akan menyurati Departemen Hukum dan HAM Papua untuk meminta akses pemeriksaan kesehatan terdakwa. Surat lain akan dikirimkan kepada Kapolri sehubungan dengan jaminan keselamatan bagi keluarga korban dan pendampingya. Mengenai tuntutan pembentukan KPP HAM, Enny menjelaskan bahwa laporan yang ada akan ditindaklanjuti dengan penyelidikan Komnas HAM untuk memverifikasi laporan dan sesudahnya akan dibahas dalam pleno Komnas HAM.(*)
|
PGGP: Bentuk KPP HAM untuk kasus Abepura 16 Maret 2006!
Jayapura, 28 September 2006. Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) meminta pembentukan KPP HAM untuk Abepura 16 Maret 2006. Tuntutan ini disampaikan saat PGGP menyerahkan satu berkas laporan investigasi kasus bentrok di Abepura, 16 Maret 2006 kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua. Delegasi PGGP yang dipimpin oleh Ketua Umumnya, Uskup Leo L. Ladjar OFM, diterima langsung oleh Ketua Komda HAM Papua, Bpk. Albert Rumbekwan SH.
Laporan setebal 159 hlm. tersebut berkesimpulan bahwa peristiwa bentrok di Abepura, 16 Maret 2006 adalah puncak dari kemarahan rakyat Papua terhadap PT Freeport Indonesia yang tidak ditangani secara memadai oleh mekanisme hukum dan politik yang tersedia. Lembaga-lembaga negara dinilai bungkam saat tuntutan penutupan perusahaan tambang tembaga dan emas raksasa tersebut disuarakan oleh berbagai kalangan masyarakat Papua, khususnya selama paruh pertama tahun 2006.
Selain unsur tersebut, PGGP berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM pasca insiden saat pihak kepolisian Papua melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembunuhan, penyiksaan dan perusakan asrama-asrama di sekitar Abepura. Tindakan ini telah mengakibatkan gelombang pengungsian baik keluar Jayapura maupun ke luar Papua.
Insiden Abepura 16 Maret 2006 merupakan pengulangan pola kejadian Abepura 7 Desember 2000. Dalam kedua peristiwa tersebut polisi melakukan penyerangan kepada penduduk sipil dan khususnya mahasiswa setelah terjadi insiden yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di pihak kepolisian. Kasus Abepura 2000 telah diselidiki melalui KPP HAM pada th. 2001, disidangkan di Pengadilan HAM Makassar tahun 2005 dengan dua terdakwa, yakni Kombes Johny Wainal Usman (mantan Komandan Brimobda Papua) dan AKBP Daud Sihombing (mantan Kapolres Jayapura). Kedua divonis bebas oleh pengadilan karena tidak terbukti melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.(*)
|
SKP dan FI ke Pelapor Khusus PBB
Jenewa, 19 Maret 2006. SKP Jayapura dan FI melaporkan perkara Abepura 16 Maret 2006 kepada Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan, Prof. Manfred Nowak, atas bahaya penyiksaan yang dapat menimpa 73 orang yang ditahan dan tengah diinterogasi di Polresta Jayapura tanpa pendampingan pengacara. Sejauh ini Polisi baru mengumumkan 12 orang sebagai tersangka dalam bentrokan yang terjadi tiga hari lalu, yakni Elkana Lokobal (pria, 21), Patrisius Aronggear (pria, 30), Ellyas Tamaka (pria, 21), Othen Dapyal (pria, 22), Luis Gedi (pria, 26), Fenius Waker (pria, 21), Feri Pakage (pria, 21), Selpius Bobii (pria, 26), Alex C. Wayangku (pria, 22), Fernando P (pria, 22), Moses Lokobal (pria, 34), Markus Kayame (pria, 47).
Pengaduan ini dilayangkan berdasarkan praktik tindak penyiksaan yang terjadi sebelumnya, misalnya dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000 dimana polisi menangkap, menahan, dan menyiksa sekurang-kurangnya 90 orang. Dua orang mahasiswa meninggal dalam tahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan dan satu orang ditembak mati. Kasus ini dilaporkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan dalam Sidang Komisi HAM tahun 2003 dan oleh Pelapor Khusus PBB tentang Pembunuhan Kilat pada sidang yang sama.
Dalam catatan Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan (E/CN.4/2006/6 ), selama 13 tahun Indonesia tidak pernah mengizinkan kunjungan Pelapor Khusus ini. Meski tahun 2005 lalu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, praktik ini ternyata belum berubah (*) ( berita terkait lainnya )
|
Pemerintah Pusat perlu segera berdialog dengan rakyat Papua
Jayapura, 17 Maret 2006. Pemimpin Agama yang diwakili oleh Mgr. Leo L. Ladjar OFM, Uskup Jayapura, meminta pemerintah untuk mengendalikan kelakuan Brimob yang memblokir jalan dan melakukan operasi penyisiran ke asrama-asrama mahasiswa di sekitar Abepura tanpa kendali. Tindakan ini mendatangkan ketakutan bagi para mahasiswa dan penduduk di wilayah tersebut dan bahkan telah memakan korban. Uskup juga meminta pemerintah untuk segera mengadakan dialog dengan rakyat Papua karena menilai bahwa bentrokan ini bukan hanya soal PT Freeport tetapi merupakan luapan dari tumpukan masalah yang tidak pernah diselesaikan.
Pernyataan itu dikemukakan saat para pemimpin agama bertemu dengan Delegasi Pemerintah Pusat yang datang ke Jayapura, yakni Menko Polhukam, Widodo AS, Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto, Kapolri Jend. Pol. Sutanto, dan Kepala BIN Syamsir Siregar. Sebelum bertemu dengan para pemimpin agama, delegasi ini mengunjungi keluarga polisi yang menjadi korban kekerasan dan korban yang dirawat di RS Polisi Kotaraja. Dalam pertemuan ini para pejabat tinggi negara itu mengajak para pemimpin agama untuk membantu aparat negara memulihkan situasi.
Tragedi Abepura merupakan puncak dari serangkaian aksi demo penolakan PT Freeport Indonesia, tuntutan penarikan pasukan TNI dan Polri dari lokasi PT Freeport Indonesia, dan pembebasan 7 tahanan di Timika terkait dengan demo di Timika. Rangkaian aksi yang dipelopori oleh Front PEPERA dan Parlemen Jalanan ini berkembang sejak 22 Februari 2006 dan meluas ke luar Papua, seperti di Jakarta, Semarang, dan Makassar.
Dalam keterangan persnya (16/3) di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan menutup tambang Freeport karena akan menimbulkan masalah hukum dan mengganggu ekonomi nasional. Presiden menegaskan agar keamanan dipulihkan dan mengecam tindakan anarkis yang telah memakan 4 korban meninggal di pihak kepolisian dan puluhan luka-luka baik di pihak warga sipil maupun aparat kepolisian (*) ( berita terkait )
|
Umat beragama berpawai damai
Jayapura, 20 September 2005. Sekitar 500-an orang dari berbagai agama, suku dan status sosial bergabung dalam pawai damai yang dimotori oleh Lima Pemimpin Agama di Papua. Pawai dimulai sekitar pk. 16.00 dengan penekanan tombol sirene oleh Ketua Panita, Pdt. Hermann Saud, pelepasan balon perdamaian, dan pelepasan lima burung merpati perdamaian oleh lima pemimpin agama: Pdt. Hermann Saud, Pastor Yan You pr, Bpk. I Nyoman Sura, Bpk. Jalaludin, dan Bhiksu Tanavaro Nyanapradipa di halaman Gereja GKI Pengharapan Jayapura. Dengan pengawalan polantas, massa berarak melalui Jl. Sam Ratulangi-Jl. Ahmad Yani ke Mesjid Raya Jayapura. Di situ massa disambut oleh grup Khasidah, Imam masjid dan Ketua MUI Papua, H. Zubeir Hussein, yang kemudian memberikan renungan damai singkat. Massa kemudian bergerak setelah Imam Masjid menutup dengan doa. ( berita selengkapnya )
|
OTSUS: kembali ke kandang!
Jayapura, 12 Agustus 2005. Sekitar 10000-an orang melakukan long march dari lapangan Trikora Abepura menuju kantor DPR Papua. Mereka membawa berbagai spanduk dan pamflet yang bertuliskan gagalnya Otsus serta penolakan terhadap Otsus karena dianggap tidak mensejahterakan masyarakat adat Papua. Sekelompok pemuda memikul peti mati yang terbungkus kain hitam bertuliskan 'OTSUS' yang menggambarkan bahwa Otsus sudah mati. Iring-iringan menjadi semakin panjang dengan bergabungnya sekitar 500-an sepeda motor dan warga masyarakat sepanjang perjalanan menuju kantor DPRP. Massa terus berjalan sambil waita dan menolak Otsus. Aksi damai ini menarik perhatian warga masyarakat kota Jayapura baik warga pendatang maupun warga asli Papua. Mereka keluar dan berjejer di sepanjang ruas jalan dan ikut mendukung aksi tersebut dengan menyediakan minuman, rokok dan pinang gratis. Bahkan ada juga warga yang menyemprotkan air dari selang ke arah peserta aksi untuk membantu mengurangi panasnya terik matahari siang itu. ( berita selengkapnya )
|
Dewan Adat Papua peringati Hari Masyarakat Pribumi Se-Dunia
Jayapura, 12 Agustus 2005. "Jangan heran jika orang Papua terus berteriak karena begitu banyak penderitaan dan penindasan yang telah dialami selama 40 tahun", kata Leonard Imbiri, Sekretaris Umum Dewan Adat Papua saat menyampaikan sambutan dihadapan 1000-an masyarakat adat yang memadati Pendopo kediaman Almarhum Ondoafi Besar Theys Hiyo Elluay. Mereka memperingati Hari Masyarakat Pribumi se-Dunia. Leonard Imbiri menegaskan, Indonesia sebagai salah satu negara yang mengakui adanya bangsa pribumi di dunia harus menjamin pengakuan terhadap hak-hak bangsa pribumi, termasuk bangsa Papua. Perayaan ini sebagai bentuk solidaritas masyarakat pribumi Papua dengan masyarakat pribumi lainnya yang tetap memperjuangkan hak-haknya yaitu hak atas tanah, hak politik dan hak hidup. Untuk itu, Dewan Adat Papua mewakili masyarakat adat Papua meminta pertanggungjawaban negara Republik Indonesia, PBB, Belanda, dan Amerika Serikat atas hilangnya hak-hak dasar rakyat Papua dan juga hak hidup orang Papua. ( berita selengkapnya )
|
Api membara di Papua
Jayapura, 4 Agustus 2005. 29 Juli 2005 yang lalu, DAP menggelar jumpa pers di Jayapura guna menegaskan rencana menggelar demo damai di semua kantor DPRD kabupaten dan provinsi. Langkah ini adalah bagian dari serangkaian kegiatan dalam rangka pengembalian otsus yang meliputi seminar untuk evaluasi Otsus pada tgl. 6 dan 8 Agustus 2005 serta peringatan Hari Bangsa-bangsa Pribumi 9 Agustus 2005. Yang menarik adalah bahwa rencana ini beriringan dengan keluarnya RUU 2601 oleh Senat Amerika Serikat yang memuat pernyataan penting mengenai Papua dan Aceh di Artikel 1115. Langkah politis yang didorong oleh Eni Faleomavaega (anggota Konggres Negara Bagian Samoa) dan Donald Wayne (anggota Konggres) memicu berbagai tafsiran dan prasangka yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat Papua. ( berita selengkapnya )
|
"Copot Kapolda Papua!"
Jayapura, 14 Mei 2005. Menyambut kedatangan Kapolri, Jend. Pol Da�i Bahtiar, ke Jayapura sehubungan dengan insiden 10 Mei 2005, masyarakat korban menyiapkan aksi demo damai di depan Kantor Kontras Papua di Padang Bulan, Waena. "Kami meminta dan mendesak dengan tegas agar Bapak selaku pimpinan tertinggi Kepolisian Republik Indonesia untuk segera mencopot Kapolda Papua dari jabatannya dan meminta pertanggungjawabannya selaku pimpinan POLRI tertinggi di wilayah Papua di muka pengadilan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya karena terbukti bahwa beliau sudah tidak layak dan sanggup mengawasi anggotanya dalam melindungi dan mengayomi masyarakat di Tanah Papua" demikian inti tuntuan Koalisi Perlindungan Korban 10 Mei (K-10M) yang dibacakan di hadapan masyarakat, wartawan dan Kapolrest Jayapura yang baru dilantik, AKBP Paulus Waterpauw. ( berita selengkapnya )
|
"Papua Tanah Damai" di PBB
Jenewa, 31 Maret 2005. Dua pemimpin gereja Papua, Uskup Leo Laba Ladjar OFM dan Pdt. Hermann Saud, menggebrak Jenewa dengan paparan "Papua Tanah Damai". Di tengah perhelatan Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kedua pemimpin gereja memaparkan upaya mereka menangani konflik, mengangkat perkara pelanggaran HAM, dan mencari solusi damai sebagai langkah membangun persekutuan di antara masyarakat yang majemuk di Papua. "Politik memecah belah masyarakat tetapi sebaliknya, Injil mempersatukan masyarakat. Satu hal yang kami rindukan adalah untuk hidup sebagai manusia yang bermartabat; dan untuk mewujudkannya, kami ingin menciptakan atmosfir damai dan adil yang memungkinkan pertumbuhan kesejahteraan umum bagi masyarakat kami" demikian penegasan Uskup Leo, Uskup Jayapura. ( berita selengkapnya )
|
Wajah Buram Papua dalam Sidang Komisi HAM PBB
Jenewa, 29 Maret 2005. Mewakili Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Br. Budi Hernawan OFM memaparkan keadaan hak asasi manusia di Papua kepada Sidang bergengsi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, di Jenewa, Swiss, yang berlangsung dari tgl. 14 Maret - 22 April 2005. Dalam sidang yang diketuai oleh Dubes RI untuk PBB, Makarim Wibisono, dengan tegas Br. Budi mendesak Komisi HAM PBB untuk secara serius menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan dalam sidang tersebut, Br. Budi menggarisbawahi enam pokok perhatian yang perlu segera disikapi oleh Sidang. ( berita selengkapnya )
|
"Jadikan Papua Tanah Damai"
Jayapura, 18 Februari 2005. Dalam jumpa persnya, lima Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Papua menyerukan kepada segenap pihak agar menjadikan Papua sebagai Tanah Damai dengan menangani keadaan hak asasi manusia yang memprihatinkan di Papua akibat meningkatnya suhu politik, kasus-kasus dugaan pelanggaran berat HAM yang belum diselesaikan, pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tak kunjung jelas. Karenanya kelima SKP menyampaikan 7 (tujuh) butir rekomendasi agar pemerintah segera menangani keadaan itu dengan memberikan informasi sejelas mungkin kepada masyarakat mengenai kebijakan politik Papua, menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM, dan pelaksanaan agenda Otsus sepenuhnya. ( berita selengkapnya )
|
Lokakarya KPKC Saudara Muda Fransiskan
Jayapura, 3 Januari 2005. Mengawali lembaran tahun 2005, SKP menyelenggarakan lokakarya untuk Saudara-saudara Muda Fransiskan Papua dengan tema "Mengintegrasikan Spiritualitas Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) dalam Formatio Saudara-saudara Muda dalam konteks Gereja di Papua". Tema ini digumuli selama satu minggu (3-7 Januari 2005) di Sentani bersama Tim SKP Jayapura yang hadir dengan kekuatan empat orang: Br. Budi Hernawan ofm, Sdri. Frederika Korain, Br. Rudolf Kambayong ofm, dan Sdri. Rosa Moiwend. Kegiatan ini merupakan bagian dari program pendidikan Saudara-saudara Muda Fransiskan di Papua yang mencoba merefleksikan dimensi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dalam konteks sosial-politik Papua. ( berita selengkapnya )
|
Serah terima direktur SKP Jayapura
Jayapura, 28 Desember 2004. Seiring dengan regenerasi kepemimpinan di SKP Keuskupan Jayapura, jabatan direktur diserahterimakan dari Br. Theo van den Broek ofm kepada Br. Budi Hernawan ofm. Serah terima ini diresmikan oleh Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar ofm, dan pimpinan fransiskan di Papua, P. Nico Syukur Dister ofm, dengan disaksikan oleh sejumlah rekan kerja LSM serta para pemimpin agama di Jayapura. ( berita selengkapnya )
|
Forum Peduli Kasus Assue Demo ke DPRD Papua
Jayapura, 12 November 2004. Gabungan mahasiswa dan warga masyarakat melakukan aksi demo ke kantor DPRD Papua menuntut agar DPRD memfasilitasi pertemuan mereka dengan Muspida Papua. Forum menuntut agar masalah kerusakan lingkungan akibat bisnis gaharu ditangani serius karena telah mendatangkan dampak buruk bagi masyarakat karena disertai perdagangan miras ilegal, perdagangan perempuan, perjudian, dan merebaknya penyakit HIV/AIDS di Distrik Assue, Kabupaten Pemekaran Mappi. Dimotori oleh LMA Awyu Darat Distrik Assue, SKP Jayapura, dan SKP Merauke, demo damai ini melibatkan dua ratusan orang yang melakukan long march dari kantor Keuskupan Jayapura menuju kantor DPRD. Di depan gedung, tampak beberapa anggota DPRD menerima rombongan seperti Piet Awangkok,Albert Yogi, John Manangsang yang menyambut mereka. ( ambil laporan lengkap )
|
PGGP: Bentuk KPP HAM untuk Mulia!
Jayapura, 5 November 2004. Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) tak tinggal diam dengan keadaan yang berkembang di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Ketua-ketua Sinode dan Uskup Jayapura mengutus Sekretaris PGGP, Hardus Desa, menemui Ketua DPRD Provinsi Papua, John Ibo, tgl. 3 November 2004 guna menyerahkan sepucuk surat yang berisikan pendapat gereja-gereja mengenai rencana pembentukan Tim Investigasi untuk Mulia. ( ambil surat )
|
Abmisibil, Riwayatmu Kini...
Jayapura, 30 Oktober 2004. Abmisibil, Ibukota Kecamatan Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang mulai resah merasakan perubahan-perubahan yang dirasakan sejak terbentuknya Kabupaten Baru di ujung timur Pegunungan Tengah. Assessment SKP Keuskupan Jayapura selama enam hari 18-23 Oktober 2004 menemukan berbagai fakta awal yang menunjukkan tanda-tanda kemerosotan mutu hidup seperti didefinisikan dalam Deklarasi Hak atas Pembangunan PBB 1986. ( simak laporan selengkapnya )
|
Telah terbit: "Papua Aktual Oktober 2004"
Jayapura, 30 Oktober 2004. Telah menjadi bagian program SKP Keuskupan Jayapura untuk menyajikan analisis triwulan mengenai perkembangan sosial-politik di Papua kepada khalayak ramai melalui Seri Socio-Political Notes. Tulisan ini merupakan edisi kesembilan dan secara khusus memberi perhatian pada dinamika tersebut dalam kurun waktu Juli hingga September 2004. Sajian edisi ini memiliki perbedaan dibandingkan edisi-edisi sebelumnya karena SKP mencoba memberikan peta aktual hak asasi manusia dalam segi-segi yang mencuat ke permukaan. Karena itu, pengamatan dan analisis tidak hanya terfokus pada kajian politik tetapi juga penegakan hukum, masalah perempuan, masalah anak, dinamika masyarakat adat, perkara-perkara di bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang menjadi tantangan dan keprihatinan sehari-hari. ( download karangan )
|
"Damai, Mari Kitorang Bikin Sama-sama!"
Jayapura, 14 Oktober 2004. Puncak Peringatan Hari Perdamaian Internasional di Jayapura ditandai dengan Doa Damai yang diawali dengan serangkaian kegiatan yang digelar sejak tanggal 15 September 2004 berupa Kampanye Perdamaian melalui media radio dan televisi lokal milik pemerintah (RRI Jayapura) dan TVRI Papua, serta beberapa radio swasta yang ada di Kota Jayapura, berlangsung sampai tanggal 22 September 2004. Rangkaian kegiatan ini diorganisir oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura beserta Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) dengan melibatkan 13 Kelompok mahasiswa dan kepemudaan dari berbagai kalangan. Peringatan Hari Perdamaian Internasional ini merupakan yang ketiga kalinya diperingati di Tanah Papua selama 3 tahun terakhir ini. ( simak laporan selengkapnya )
|
"Anda adalah PELITA!"
Jayapura, 4 September 2004. Sebagai tanggapan terhadap pelantikan anggota DPRD di seluruh Papua, para pemimpin agama mengeluarkan pernyataan kepada anggota dewan yang baru dilantik untuk masa jabatan 2004-2009. Dalam pernyataannya para pemimpin agama mengungkapkan secara tegas harapan masyarakat Papua akan, "Suatu perubahan yang lebih baik; ada pembaharuan sistem yang menjanjikan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Maka, dimata masyarakat Papua saat ini, kalian adalah PEmimpin LIma TAhun alias PELITA untuk negeri ini". Demikian arti PELITA yang menjadi inti pernyataan yang ditandatangani oleh Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Uskup Jayapura), Pdt. Herman Saud (Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Papua), H. Zubeir D. Hussein (Ketua the MUI Wilayah Papua), I. Nyoman Suda (Ketua Parisada Hindu Dharma Provinsi Papua), Pandita Arya Bodhi (Sekretaris Majelis Buddhayana Indonesia Provinsi Papua). ( simak laporan selengkapnya )
|
Keprihatinan dan Harapan Gereja-Gereja Indonesia kepada Capres dan Cawapres
Jayapura, 24 Agustus 2004. Bertempat di Hotel Sentani Indah, Papua, para pemimpin Gereja Indonesia mengadakan dialog dengan Capres dan Cawapres 2004-2009. Presiden Megawati dan Yusuf Kalla memenuhi undangan para pemimpin gereja tersebut dan bersedia mengadakan dialog. Dalam kesempatan itu para pemimpin Gereja, yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, menyerahkan pernyataan "Keprihatinan dan Harapan Pemimpin Gereja Se-Indonesia kepada Calon Presiden/ Wakil Presiden Indonesia 2004/2009" . Dalam pernyataan yang ditandatangani 15 pemimpin gereja Kristen dan Katolik ini, Capres dan cawapres diminta agar memperhatikan tiga pokok masalah, yakni (1) hukum, HAM, dan kerukunan agama, (2) politik dan pemerintahan, serta (3) pembangunan wilayah - studi kasus Papua. ( simak laporan selengkapnya )
|
Kasus Abepura 2000 dan Wamena 2004 di Sidang Sub Komisi HAM PBB
Jenewa, 12 Agustus 2004. Perkara Abepura 7 Desember 2000 dan KPP HAM Wamena terus mendapat perhatian dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKP) dan Franciscans International (FI), LSM yang berbasis di Jenewa, Swiss. Dalam Sidang Sub-Komisi PBB tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM 26 Juli-13 Agustus 2004 di Jenewa, kedua lembaga menyoroti perkara Papua bersama dengan perkara di Pakistan dan Togo. Mengenai keputusan majelis hakim yang telah menolak gugatan ganti rugi pihak korban kasus Abepura. Kedua lembaga menilai bahwa hak pemulihan bagi pihak korban kemungkinan besar akan terabaikan mengingat bahwa dakwaan jaksa tidak menyebutkan secara tegas soal ganti rugi. ( simak laporan selengkapnya )
|
Pemimpin Agama di Papua pertanyakan KPP HAM Wamena and Wasior
Jayapura, 17 Juli 2004. Lima Pemimpin Agama di Papua mengirim surat pengaduan kepada Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Abdul Hakim Garuda Nusantara, guna mempertanyakan hasil kerja Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia KPP HAM (KPP HAM) Wamena dan Wasior. "Kami, Para Pemimpin Agama di Papua, meminta dengan hormat agar Komnas HAM memberikan penjelasan resmi dan terbuka kepada masyarakat Papua khususnya dan seluruh warganegara Indonesia mengenai hasil penyelidikan KPP HAM," demikian isi surat yang ditandatangani oleh Pdt. Herman Saud (Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Papua), Uskup Leo Laba Ladjar (Uskup Jayapura), Zubeir D. Hussein (Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Papua), I Nyoman Suda (Ketua Parisada Hindu Dharma Provinsi Papua) dan Pandita Arya Bodhi (Sekretaris Majelis Buddhayana Provinsi Papua). ( simak laporan selengkapnya )
|
Uskup Manokwari-Sorong memprotes tindakan Aparat Kepolisian Saonek
Sorong, 14 Juli 2004. Uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, mengirim surat pengaduan kepada Kapolda Papua, Irjen. Pol. Timbul Silaen, sehubungan dengan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh Aparat Kepolisian Saonek, Raja Ampat,7 Juli 2004, terhadap empat orang pekerja kemanusiaan, yakni Fredy Sedik (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian/ SKP Keuskupan Sorong), Ludia Mentansan, Torianus Kalami, dan Simson Sanoy (ketiganya dari Yayasan TRITON) . Dalam suratnya, Uskup Hilarion, menyatakan keberatan mendasar terutama berkaitan dengan "alasan penangkapan yang mendasarkan diri pada penemuan bahan-bahan bacaan yang sebenarnya tersedia secara sah lalu dijadikan sebagai barang bukti untuk dicurigai sebagai tersangka melakukan tindak pidana makar yang melanggar KUHP pasal 106".Tindakan ini dinilai bertentangan dengan pasal 100 UU no. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi PBB tentang Pembela HAM 1998 pasal 1, demikian isi surat tertanggal 14 Juli 2004. ( simak laporan selengkapnya,)
|
"Gugatan Ganti Rugi Korban Abepura ditolak"
Jayapura, 15 Juni 2004. Dalam lanjutan persidangan Kasus Abepura 7 Desember 2000 di Makasar, 7 Juni 2004, Majelis Hakim Pengadilan HAM Kasus Abepura yang diketuai oleh Jalaluddin Amin SH, menolak tuntutan ganti rugi class action yang diajukan oleh korban beserta keluarga melalui Tim Kuasa hukum mereka. Hakim berpendapat bahwa mekanisme ganti rugi class action tidak dikenal dalam UU no. 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan pemberian restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi telah diatur dalam ps. 35 UU no.26/2000 dan PP No.3/2002. "Kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang disidangkan adalah kejahatan luar biasa sehingga membutuhkan pembuktian yang cukup kompleks sedangkan mekanisme class action adalah pembuktian mudah. Karena itu mekanisme ini tidak dapat dipakai," papar Jalaluddin SH. Majelis hakim menyarankan agar korban mendaftarkan secara individual mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jayapura. ( simak laporan selengkapnya,)
|
"Mereka Simpatisan OPM"
Makasar, 24 Mei 2004. Majelis Hakim yang diketuai oleh Jalaluddin SH melanjutkan Sidang Kasus Pelanggaran Berat HAM Abepura dengan mendengarkan eksepsi dari Terdakwa bersama Tim Pengacara. Denny Kailimang SH, Ketua Tim Pengacara, berpendapat Ori Ndoronggi, Johny Karunggu dan Elkius Suhuniap adalah simpatisan Gerakan Papua Merdeka. Selanjutnya dia mempertanyakan kewenangan pengadilan HAM untuk memeriksa dan mengadili perkara ini karena perbuatan terdakwa ada dalam konteks penegakan hukum pidana sehingga berada dalam kompetensi pra-peradilan dalam Pengadilan Umum. ( simak laporan selengkapnya,)
|
"SKP dan FI melayangkan surat ke PBB"
Jenewa, 25 April 2004. Setelah melakukan advokasi mengenai kasus Abepura bersama dengan Tim Koalisi selama tiga tahun, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan mitra kerjanya, Franciscans International, LSM Internasional yang bermarkas di Jenewa, Swis, telah melayangkan surat kepada Leandro Despouy, Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara. Dalam surat tertanggal April 2004, kedua lembaga meminta agar pertama, beliau mendesak Pemerintah Indonesia agar menjamin supaya persidangan berjalan dengan adil, tidak memihak, dan memenuhi kriteria pengadilan HAM internasional; kedua, memantau dari dekat jalannya persidangan; dan ketiga, melaporkan segala perkembangan kepada Prosedur Khusus PBB yang terkait. ( simak laporan selengkapnya )
|
|
 |
Memoria Passionis
|
Catatan Sosial Politik
|
Seri Papua Aktual
|
Karangan lepas
|
Seruan-Seruan
|
Laporan Lain
|
Pemesanan Buku
|

|